Friday, October 17, 2008

PADA LAMPU MERAH DAN LAMPU HIJAU

Seorang wanita paruh baya di dalam mobil kecil sedang memikirkan rencana untuk bunuh diri karena masalah hidup yang rumit. Sambil menunggu di lampu merah dia berpikir-pikir.


Apa sebaiknya gantung diri saja ya? Bagaimana kalau mengiris pergelangan tangan? Atau kutusukin saja tepat di jantung? Langsung mati tidak ya? Sakitnya lama tidak ya? Atau.... dia berpikir-pikir lagi. Telapak tangannya basah. Tiba-tiba dilihatnya bus besar di seberang juga sedang berhenti menunggu lampu merah. Bagaimana kalau kutabrakkan saja mobil ini ke bus? Bisa langsung mati di tempat tidak ya? Jangan-jangan langsung dibawa ke rumah sakit terdekat. Dia mendesah. Berpikir lagi. Racun. Kalau minum racun tikus bagaimana? Atau langsung saja aku teguk habis baygon di rumah? Baunya tak enak, aku pasti langsung muntah. Bisa-bisa aku tak jadi mati.


Dia berpikir lagi. Wajahnya diam kaku. Matanya menerawang jauh. Pil tidur. Praktis, efisien, bersih, dan pasti mati. Setelah lampu merah ada apotik. Akan kubeli banyak-banyak di situ. Berapa banyak dibutuhkan? Ratusan? Akh, ribuan pun akan kuminum. Aku tak ingin bangun lagi. Tapi bagaimana jika aku hanya tidur untuk selama-lamanya? bagaimana jika aku terperangkap dalam mimpi buruk dan tak bisa bangun lagi?

Lampu hijau menyala. Wanita itu masih berpikir. Mobil yang di belakangnya sibuk membunyikan klakson panjang dan nyaring. Seorang polisi yang sedang patroli lalu lintas bingung dan mendekatinya.


”Selamat siang, bu.” sapanya. Wanita itu menoleh dan membuka jendela mobilnya. ”Lampunya sudah hijau.”


”Kenapa?” tanya wanita itu linglung. Polisi itu bingung. Dipandangnya dengan teliti wanita yang terlihat putus asa itu. Di pipinya yang lebam masih terlihat sisa-sisa air mata yang mengering. Matanya bengkak dan bibirnya pecah. Semuanya pemberian suaminya.


”Seharusnya ibu jalan terus. Lampunya sudah hijau.” tambahnya.
Si wanita tercenung. Jalan terus. Pikirnya. Tiba-tiba dia teringat pada nyawa di dalam perutnya yang membuncit seperti bola. Dan dia langsung terkesiap kaget karena nyaris saja berpikir untuk membunuh darah dagingnya. Dielusnya perut itu dengan mesra.


”Ibu bisa saya bantu?” tanya polisi prihatin.

”Saya akan jalan terus, pak.” ujarnya yakin dengan suara tercekat. Dan dia melewati apotik dengan lega.

INSOMNIA

Aku tidak bisa tidur, masih mendengarkan radio yang dibawakan oleh penyiar Rendi. Lagu yang diputar adalah Kokoro no tomo. Aku baru saja selesai menonton film siaran ulangan di televisi “The Wedding Planner”. Benar-benar film dengan akhir yang sangat buruk. Terlalu dipaksakan. Tidak romantis dan tidak berkesan. Norak.


Awal, pertengahan, hingga 1 menit sebelum film berakhir masih bagus, hingga Dr. Steve datang dan menikahi Mary. Entah bagaimana si Massimo yang sangat mencintai Mary itu dengan senang hati seolah tanpa beban mengantar Dr. Steve ke Mary untuk dinikahi! Ada-ada saja.


Aku membayangkan film itu lebih romantis dan lebih berkesan. Aku membayangkan Mary terlanjur menikah dengan Massimo yang sangat mencintainya. Dr. Steve menyaksikan mereka ”Kissing” sebagai suami istri. Lalu dia pergi ke luar balai kota dan berjalan sendirian dengan masih memakai tuxedo pernikahannya. Dia pun pergi ke tempat dimana mereka hampir berciuman. Lalu hujan turun. Dia tersenyum merelakan. Dan tamat.


Aku tidak percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Aku lebih percaya ada teman yang akhirnya saling mencintai. Lebih realistik. Sebab rasanya cinta tak akan bisa tumbuh tanpa adanya faktor kebiasaan, frekuensi pertemuan dan interaksi.
Dan rasanya tidak ada orang yang benar-benar menemukan belahan jiwanya dengan cara mengorbankan perasaan orang lain. Bukannya cinta tumbuh karena kasih? Dan rasanya kasih tidak berdiri di atas penderitaan orang lain, kan?


Aku melirik jam. Sudah jam setengah tiga pagi. Lagu-lagu masih ada di radio. Entah siapa penyanyinya. Aku tak peduli. Aku menghitung jam, menunggu pagi. Aku senang jika pagi akhirnya datang. Tapi tetap terjaga di malam hari juga sering membuatku senang. Banyak yang bisa kukerjakan dengan tenang tanpa ada telepon atau orang yang mengganggu. Seperti sekarang ini. Masih dengan piyama plus jaket tebal, aku pergi ke kedai 24 jam. Aku menatap ke deret-deret coklat yang menggiurkan, bingung harus memilih yang mana. Seperti kemarin. Aku pergi ke rumah makan 24 jam dan aku bingung menentukan apakah beli martabak mesir atau mie hun goreng.


”Katanya, perempuan yang tidurnya kurang dari 5 jam sehari bisa berakibat 3 kali lebih besar kemungkinannya terkena obesitas dari pada mereka yang tidak.” ujar seorang pria yang tiba-tiba saja berdiri di sampingku.

”Oh, dan pria tidak?” tanyaku kesal.

”Insomnia juga ya?” tanyanya sambil tertawa kecil lalu mengambil sebatang coklat dari rak yang ada di depanku. Mataku tertuju pada jari-jari besar dan bulat yang mengambil coklat itu lalu perlahan aku menyusuri tangan dari jari-jari itu dengan mataku dan pandanganku tepat berhenti pada pria yang mengajakku bicara tadi. Aku langsung mengurungkan niat untuk membeli coklat dan berpikir untuk segera pulang ke rumah. Aku harus tidur.

Selesai.

SENYUMMU MANIS SEKALI

Ujian semesteran sudah selesai. Aku keluar dari ruang ujian dengan wajah tersenyum berseri-seri. Ceria sekali. Jujur saja, ini pertama kalinya sepanjang sejarah pendidikanku, aku merasa begitu bersemangat sewaktu ujian. Aku yakin, semester ini Indeks Kumulatifku akan mencapai 3 (biasanya paling tinggi cuma 2, 98!).


Biasanya kalau ujian aku selalu punya banyak cara untuk mengalihkan perhatian dari buku-buku kuliah yang seharusnya sudah kubaca jauh hari sebelum ujian tiba. Aku bisa tiba-tiba lebih tertarik untuk membersihkan kamar mandi dari pada mengulang pelajaran. Aku tidak pernah benar-benar membaca buku pelajaran karena merasa sudah mendapat cukup dari kuliah yang kuikuti.


Tapi semester ini begitu berbeda. Aku bahkan rela tidak tidak tidur semalaman demi membaca buku agraria 2 yang tebalnya 565 halaman (aku selesai membacanya dalam waktu kurang dari seminggu) dan merasa sia-sia jika tidak melanjutkan membaca undang-undangnya. Mungkin penyebabnya gara-gara aku mendapat nilai D untuk mata kuliah Hukum Adat 2 semester lalu. Itu nilai D pertamaku seumur hidup dan rasanya sakit sekali. Aku sampai menangis seminggu penuh. Sayangnya kenapa hal ini baru terjadi setelah aku berada di semester 5? Betapa 4 semester berlalu dengan sia-sia. Tapi seperti kata pepatah: lebih baik telat daripada tidak sama sekali.


Aku masih saja memasang tampang ceria sambil berjalan ke koridor kampus menuju gerbang keluar. Rasanya aku ingin tersenyum terus sepanjang hari dan berbagi kebahagiaan dengan para mahasiswa yang bertampang kusut. Rasanya aku ingin bilang: ”ceria dong, ini kan ujian!”


Lalu tiba-tiba aku melihatnya datang dari arah berlawanan denganku. Dia seniorku. Orangnya dingin dan acuh. Sebenarnya dia cukup menarik andaikan dia bisa agak lebih ramah dan banyak senyum pada orang. Singkatnya, aku suka padanya. Tapi kata teman-temanku dia tidak suka dengan cewek yang tidak mampu menyamai prestasinya yang selama 3 tahun berturut-turut selalu dinobatkan menjadi mahasiswa paling berprestasi di kampus. Kalau dipikir-pikir, aku memang sangat jauh dari harapannya yang paling rendah. Tapi hari ini aku sedang senang. Jadi aku tersenyum lebar padanya. Dia menoleh padaku dengan wajah heran dan alis mengernyit. Setelah melewatinya, aku merasa begitu bodoh dan malu.


Rasa senang berubah menjadi gelisah. Aku sampai tidak bisa tidur padahal jam sudah menunjukkan pukul 11 malam.
Tiba-tiba HP ku berdering. Nomor tak dikenal. Ah, paling-paling orang iseng lagi. Malas mengangkatnya. Tapi nomor itu bolak-balik menghubungiku. Emosi juga jadinya.


”Ya?” jawabku uring-uringan.

”Maaf,” terdengar suara dari seberang. ”Ini Lunet?”

”Hmmm.” jawabku acuh tak acuh. ”Siapa ini? Tau nggak sekarang jam berapa??”

”Maaf. Ini Andra.” jawabnya. Sontak aku bangkit dari tidur. ”Maaf mengganggumu.” sambungnya. ”Tapi senyummu manis sekali. Aku jadi tak bisa tidur.”

Selesai