Dia selalu diam dengan tatapan mata yang dalam dan posisi tubuh yang tegak kaku. Sikapnya begitu dingin dengan air wajah yang keras dan tegas. Siapa menyangka dia begitu rapuh dibalik sikapnya yang beku seperti batu? Kerap kali pipinya basah oleh air mata. Adakah orang yang bisa membaca pikirannya saat dia terdiam menatap jauh ke depan tanpa tujuan? Aku juga tidak, meskipun aku tinggal serumah bersamanya, tapi sering kali juga aku merasa dia tidak benar-benar menyadari aku ada di sana bersamanya.
Aku disuruh Namboru untuk mengajaknya makan malam bersama. Aku yakin, Bintang lebih suka makan tidak bersama kami, tapi Namboru selalu menyuruhku mengajaknya.
“Bintang, makan malam siap.” Ajakku sambil melongok dari pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Dia sedang berdiri di samping jendela besar. Bintang tidak bergeming, pandangannya jauh menembus langit. Sepertinya dia tidak mendengar suaraku.
“Bintang…” aku memanggilnya dengan suara agak tinggi.
Dia lalu berjalan menjauhi jendela dan pergi melewatiku menuju ruang makan, meninggalkan kesan dingin. Seperti biasa. Seperti inikah dirinya yang sebenarnya? Kadang-kadang aku merasa seperti tidak bernyawa jika bersamanya.
Angin sore bertiup lembut mengembus rambut panjangnya hingga berkibar sebentar dan kembali terurai lembut di kening, bahu dan punggungnya. Dia sebenarnya seorang gadis yang manis dan menarik. Tapi mata itu, siapa yang tahan dipandang dengan mata yang dingin seperti itu? Pernahkah kamu melihat sebuah portrait dengan latar belakang warna jingga yang cerah indah dengan objek seorang gadis cantik yang murung? Benar-benar tak serasi.
Bintang, apa yang sedang kamu pikirkan? Mengapa kamu begitu tertutup dan menarik diri dari dunia sekitarmu? Tidakkah kamu merasa letih bersikap keras seperti itu? Menyadari aku memandangnya, dia segera masuk ke dalam rumah. Aku yakin, dia lebih suka tidak melihatku.
Dia menempelkan keningnya ke jendela kaca, matanya mengawasi air hujan yang perlahan turun di kaca jendela mobil dan jari telunjuknya mengikuti arah jatuhnya air hujan itu. Bibirnya terkatup rapat. Dirinya begitu sunyi. Pandangan matanya teramat sepi. Hanya air hujan yang menarik perhatiannya. Tangannya memegang seikat bunga mawar dengan erat.
“Hujannya cukup deras. Kamu yakin mau ke kuburan hari ini?” tanyaku memastikannya.
Bintang diam. Sepertinya suaraku mengusik lamunannya. Aku bisa lihat pantulan wajahnya dari kaca jendela di sampingnya. Matanya tidak lagi mengawasi air hujan.
“Di sana pasti becek.” aku memperingatkannya. Tapi Bintang diam saja.
Kami sampai di pekuburan. Dia segera keluar dari mobil tanpa menghiraukan payung yang kutawarkan padanya dan berjalan cepat-cepat ke sebuah kuburan besar dan mewah yang dilapisi batu granit warna hitam mengilat dan dikelilingi bunga bakung. Aku mengikutinya dari belakang sambil memayungi diriku sendiri. Bintang bersimpuh di samping sebuah pusara berbentuk persegi panjang berlapis batu granit hitam. Setelah terdiam memandang sejenak perlahan dia menempelkan telinganya ke atas kuburan seolah ingin mendengar sesuatu dari dalam sana. Ditutupnya matanya dengan sabar. Lalu dia meletakkan bunga mawar tadi di dalam vas bunga kristal yang memang telah tersedia di atas pusara.
“Sebaiknya kita pulang sekarang.” Ujarku sambil memayunginya. Dia tidak menghiraukanku. Angin kencang benar-benar membuatku menggigil dan sesak nafas. “Bintang…” panggilku. Bintang menatapku dengan pandangan matanya yang dalam dan dingin. Dia membuatku semakin menggigil. “Besok kalau cuacanya bagus, kita ke sini lagi.” Janjiku sambil pergi menuju mobil. Dia mengerang sambil beranjak dari kuburan dan pergi mengekoriku.
Bintang duduk di teras rumah sambil mengenakan baju tidur. Padahal malam sudah semakin larut dan angin dingin berembus sangat kencang.
Aku memandangnya sejenak sembari duduk di sampingnya. Lamunannya membawanya jauh dari kenyataan. Seperti biasa. Jadi aku membiarkannya saja. Aku memang tidak terlalu mengenalnya. Sejak ayahku menikahi ibunya 5 tahun yang lalu, kami tidak pernah secara khusus bertemu dan mengobrol layaknya saudara tiri. Kami tidak pernah tinggal dalam satu rumah yang sama.
Dia anak tunggal dan aku anak semata wayang. Usia kami juga sepantaran. Tapi kami tak pernah mengharapkan keberadaan satu sama lain. Aku bahkan tidak pernah menyetujui ayahku menikah lagi dengan wanita lain walaupun dia dan ibu sudah cerai 7 tahun yang lalu hanya gara-gara keegoisan masing-masing. Sepertinya Bintang juga merasakan hal yang sama. Kami saling tidak menyukai satu sama lain. Apalagi, ayahku yang seharusnya menjadi ayah tirinya juga sudah meninggal 5 bulan yang lalu karena serangan jantung dadakan. Ayah memang perokok berat. Ibu sudah sering menasehatinya tapi dia tidak mau mendengarkan. Jadi, tidak ada lagi penghubung antara aku dan gadis ini. Aku pernah mengharapkan supaya dia tinggal saja dengan keluarga dari ayahnya atau ibunya dari pada tinggal bersama kami. Tapi Namboruku memaksa. Ibuku sudah mempunyai keluarga baru setelah menikah dengan Om Farhan dan sudah dikaruniai 3 orang anak. Mungkin ibu tidak enak jika aku harus tinggal dengan keluarga barunya jadi dia menyetujui saat Namboruku mengajakku tinggal bersamanya. Entah bagaimana ceritanya, Namboru yang mengetahui bahwa Bintang sudah yatim piatu, tiba-tiba mengajak Bintang tinggal di sini bersamanya dan keluarga Bintang pun ntah bagaimana bisa menyetujui keputusan itu. Aku masih tidak bisa mengerti keputusan Namboru untuk mengasuh Bintang juga. Namboruku ini tidak menikah, usianya 55 dan baru saja pensiun namun dia paling semangat untuk mengurus anak orang. Ibu Bintang sudah meninggal setahun yang lalu karena kanker rahim. Bintang sekarang yatim piatu, tapi apa bedanya dari aku? Meskipun aku masih punya Ibu tapi rasanya seperti sudah tidak punya lagi. Ayah Bintang telah meninggal jauh sebelum ibunya mengenal ayahku. Kabarnya beliau meninggal dalam mengemban tugas kenegaraan.
Pertama kali dia menginjakkan kaki di rumah ini, aku sudah merasa tidak senang. Gadis ini membuat perasaan tidak tenang. Mungkin karena pandangan matanya yang dalam dan tajam. Mungkin karena wajahnya yang selalu murung. Mungkin karena pikirannya yang selalu melayang entah kemana. Mungkin karena suaranya yang dingin dan datar. Pokoknya dia terkesan menyeramkan. Jika saja perasaan selalu diwakilkan dengan awan, dia pasti sudah diselimuti awan kelabu dengan petir yang selalu memekakkan telinga dan hujan deras membasahinya.
“Kemana perginya orang yang telah meninggal?” tanya Bintang tiba-tiba dengan suara datar. Suaranya membuyarkan lamunanku. Dia memandangku dengan tatapan matanya yang dingin tak beremosi.
“Entahlah, surga atau neraka mungkin.” Jawabku sekenanya.
“Sebelum ke sana?” tanyanya lagi sambil kembali memandang langit.
“Entahlah, mana kutau. Aku belum pernah mati.” Aku juga ikut memandang langit.
“Kira-kira, mereka ada di sana nggak, ya?” bisik Bintang. Aku tidak yakin dia bertanya padaku atau pada dirinya sendiri.
“Mungkin.” Jawabku.
“Mereka bisa lihat kita nggak, ya?”
“Entahlah."
“Mereka masih kenal kita nggak, ya?” tanyanya dengan suara tercekat “Bagaimana kalau kita rindu sama mereka?” tanyanya lagi. Aku terdiam. Tiba-tiba aku memikirkan ayahku. Sebenarnya dia pria yang baik dan penyayang. Dia sangat melindungi. Ayah memang sedikit keras, tapi hatinya selalu lembut. Tawanya bisa menghangatkan suasana. Dia tidak pernah menganggapku anak perempuan manja yang tidak bisa apa-apa. Dalam mengambil keputusan tentang apapun itu, dia selalu menganggapku wanita dewasa yang bisa didengarkan pendapatnya meskipun tidak harus selalu diterima. Tak ada lagi ayah yang selalu menemaniku latihan berenang atau bermain tennis di lapangan perumahan. Tak ada lagi tawa renyah dan lelucon segar setiap makan malam. Tiba-tiba saja aku diliputi kerinduan pada pria bijaksana itu.
“Entahlah.” Ujarku lirih. Bintang menoleh padaku.
“Kamu rindu pada ayahmu?” tanyanya lagi dengan tatapan mata bundar dan wajah penuh ingin tahu. Aku diam saja. Dia tidak mendesak jawabanku. Dia hanya kembali memandang langit. Aku menghela nafas dan meninggalkannya sendirian.
“Bintang, makan malam siap.” Ajakku sambil melongok dari pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Dia sedang berdiri di samping jendela besar. Bintang tidak bergeming, pandangannya jauh menembus langit. Sepertinya dia tidak mendengar suaraku.
“Bintang…” aku memanggilnya dengan suara agak tinggi.
Dia lalu berjalan menjauhi jendela dan pergi melewatiku menuju ruang makan, meninggalkan kesan dingin. Seperti biasa. Seperti inikah dirinya yang sebenarnya? Kadang-kadang aku merasa seperti tidak bernyawa jika bersamanya.
Angin sore bertiup lembut mengembus rambut panjangnya hingga berkibar sebentar dan kembali terurai lembut di kening, bahu dan punggungnya. Dia sebenarnya seorang gadis yang manis dan menarik. Tapi mata itu, siapa yang tahan dipandang dengan mata yang dingin seperti itu? Pernahkah kamu melihat sebuah portrait dengan latar belakang warna jingga yang cerah indah dengan objek seorang gadis cantik yang murung? Benar-benar tak serasi.
Bintang, apa yang sedang kamu pikirkan? Mengapa kamu begitu tertutup dan menarik diri dari dunia sekitarmu? Tidakkah kamu merasa letih bersikap keras seperti itu? Menyadari aku memandangnya, dia segera masuk ke dalam rumah. Aku yakin, dia lebih suka tidak melihatku.
Dia menempelkan keningnya ke jendela kaca, matanya mengawasi air hujan yang perlahan turun di kaca jendela mobil dan jari telunjuknya mengikuti arah jatuhnya air hujan itu. Bibirnya terkatup rapat. Dirinya begitu sunyi. Pandangan matanya teramat sepi. Hanya air hujan yang menarik perhatiannya. Tangannya memegang seikat bunga mawar dengan erat.
“Hujannya cukup deras. Kamu yakin mau ke kuburan hari ini?” tanyaku memastikannya.
Bintang diam. Sepertinya suaraku mengusik lamunannya. Aku bisa lihat pantulan wajahnya dari kaca jendela di sampingnya. Matanya tidak lagi mengawasi air hujan.
“Di sana pasti becek.” aku memperingatkannya. Tapi Bintang diam saja.
Kami sampai di pekuburan. Dia segera keluar dari mobil tanpa menghiraukan payung yang kutawarkan padanya dan berjalan cepat-cepat ke sebuah kuburan besar dan mewah yang dilapisi batu granit warna hitam mengilat dan dikelilingi bunga bakung. Aku mengikutinya dari belakang sambil memayungi diriku sendiri. Bintang bersimpuh di samping sebuah pusara berbentuk persegi panjang berlapis batu granit hitam. Setelah terdiam memandang sejenak perlahan dia menempelkan telinganya ke atas kuburan seolah ingin mendengar sesuatu dari dalam sana. Ditutupnya matanya dengan sabar. Lalu dia meletakkan bunga mawar tadi di dalam vas bunga kristal yang memang telah tersedia di atas pusara.
“Sebaiknya kita pulang sekarang.” Ujarku sambil memayunginya. Dia tidak menghiraukanku. Angin kencang benar-benar membuatku menggigil dan sesak nafas. “Bintang…” panggilku. Bintang menatapku dengan pandangan matanya yang dalam dan dingin. Dia membuatku semakin menggigil. “Besok kalau cuacanya bagus, kita ke sini lagi.” Janjiku sambil pergi menuju mobil. Dia mengerang sambil beranjak dari kuburan dan pergi mengekoriku.
Bintang duduk di teras rumah sambil mengenakan baju tidur. Padahal malam sudah semakin larut dan angin dingin berembus sangat kencang.
Aku memandangnya sejenak sembari duduk di sampingnya. Lamunannya membawanya jauh dari kenyataan. Seperti biasa. Jadi aku membiarkannya saja. Aku memang tidak terlalu mengenalnya. Sejak ayahku menikahi ibunya 5 tahun yang lalu, kami tidak pernah secara khusus bertemu dan mengobrol layaknya saudara tiri. Kami tidak pernah tinggal dalam satu rumah yang sama.
Dia anak tunggal dan aku anak semata wayang. Usia kami juga sepantaran. Tapi kami tak pernah mengharapkan keberadaan satu sama lain. Aku bahkan tidak pernah menyetujui ayahku menikah lagi dengan wanita lain walaupun dia dan ibu sudah cerai 7 tahun yang lalu hanya gara-gara keegoisan masing-masing. Sepertinya Bintang juga merasakan hal yang sama. Kami saling tidak menyukai satu sama lain. Apalagi, ayahku yang seharusnya menjadi ayah tirinya juga sudah meninggal 5 bulan yang lalu karena serangan jantung dadakan. Ayah memang perokok berat. Ibu sudah sering menasehatinya tapi dia tidak mau mendengarkan. Jadi, tidak ada lagi penghubung antara aku dan gadis ini. Aku pernah mengharapkan supaya dia tinggal saja dengan keluarga dari ayahnya atau ibunya dari pada tinggal bersama kami. Tapi Namboruku memaksa. Ibuku sudah mempunyai keluarga baru setelah menikah dengan Om Farhan dan sudah dikaruniai 3 orang anak. Mungkin ibu tidak enak jika aku harus tinggal dengan keluarga barunya jadi dia menyetujui saat Namboruku mengajakku tinggal bersamanya. Entah bagaimana ceritanya, Namboru yang mengetahui bahwa Bintang sudah yatim piatu, tiba-tiba mengajak Bintang tinggal di sini bersamanya dan keluarga Bintang pun ntah bagaimana bisa menyetujui keputusan itu. Aku masih tidak bisa mengerti keputusan Namboru untuk mengasuh Bintang juga. Namboruku ini tidak menikah, usianya 55 dan baru saja pensiun namun dia paling semangat untuk mengurus anak orang. Ibu Bintang sudah meninggal setahun yang lalu karena kanker rahim. Bintang sekarang yatim piatu, tapi apa bedanya dari aku? Meskipun aku masih punya Ibu tapi rasanya seperti sudah tidak punya lagi. Ayah Bintang telah meninggal jauh sebelum ibunya mengenal ayahku. Kabarnya beliau meninggal dalam mengemban tugas kenegaraan.
Pertama kali dia menginjakkan kaki di rumah ini, aku sudah merasa tidak senang. Gadis ini membuat perasaan tidak tenang. Mungkin karena pandangan matanya yang dalam dan tajam. Mungkin karena wajahnya yang selalu murung. Mungkin karena pikirannya yang selalu melayang entah kemana. Mungkin karena suaranya yang dingin dan datar. Pokoknya dia terkesan menyeramkan. Jika saja perasaan selalu diwakilkan dengan awan, dia pasti sudah diselimuti awan kelabu dengan petir yang selalu memekakkan telinga dan hujan deras membasahinya.
“Kemana perginya orang yang telah meninggal?” tanya Bintang tiba-tiba dengan suara datar. Suaranya membuyarkan lamunanku. Dia memandangku dengan tatapan matanya yang dingin tak beremosi.
“Entahlah, surga atau neraka mungkin.” Jawabku sekenanya.
“Sebelum ke sana?” tanyanya lagi sambil kembali memandang langit.
“Entahlah, mana kutau. Aku belum pernah mati.” Aku juga ikut memandang langit.
“Kira-kira, mereka ada di sana nggak, ya?” bisik Bintang. Aku tidak yakin dia bertanya padaku atau pada dirinya sendiri.
“Mungkin.” Jawabku.
“Mereka bisa lihat kita nggak, ya?”
“Entahlah."
“Mereka masih kenal kita nggak, ya?” tanyanya dengan suara tercekat “Bagaimana kalau kita rindu sama mereka?” tanyanya lagi. Aku terdiam. Tiba-tiba aku memikirkan ayahku. Sebenarnya dia pria yang baik dan penyayang. Dia sangat melindungi. Ayah memang sedikit keras, tapi hatinya selalu lembut. Tawanya bisa menghangatkan suasana. Dia tidak pernah menganggapku anak perempuan manja yang tidak bisa apa-apa. Dalam mengambil keputusan tentang apapun itu, dia selalu menganggapku wanita dewasa yang bisa didengarkan pendapatnya meskipun tidak harus selalu diterima. Tak ada lagi ayah yang selalu menemaniku latihan berenang atau bermain tennis di lapangan perumahan. Tak ada lagi tawa renyah dan lelucon segar setiap makan malam. Tiba-tiba saja aku diliputi kerinduan pada pria bijaksana itu.
“Entahlah.” Ujarku lirih. Bintang menoleh padaku.
“Kamu rindu pada ayahmu?” tanyanya lagi dengan tatapan mata bundar dan wajah penuh ingin tahu. Aku diam saja. Dia tidak mendesak jawabanku. Dia hanya kembali memandang langit. Aku menghela nafas dan meninggalkannya sendirian.
Malam itu aku tak bisa tidur. Pertanyaan-pertanyaan Bintang tadi mengusir rasa kantukku. Kuputuskan untuk meminum segelas susu hangat. Aku pergi ke dapur. Kulihat lampu dapur menyala. Siapa tengah malam begini masih berada di dapur? Ketika aku masuk, aku melihat Bintang duduk di sana. Aku membuat segelas susu hangat sambil mengawasinya.
"Ngapain sendirian di sini?" tanyaku penasaran. Dia menoleh padaku. Matanya sembab sehabis menangis.
"Rasanya aku tidak punya semangat lagi untuk menjalani hari esok." Katanya.
Aku duduk di seberangnya sambil memegang gelas susuku. "Kenapa?" tanyaku.
"Semua orang pergi meninggalkan aku. Semua orang tidak menginginkan aku." jawabnya dengan suara pelan. "Apa aku sebaiknya mati aja?" tanyanya dengan mata berkaca-kaca.
"Tidak semua orang." jawabku.
Perlahan dia mengeluarkan sebotol pil-pil kecil berwarna putih dari sakunya.
"Untuk apa itu?" tanyaku sambil menyeruput susu hangatku.
"Katanya kalo makan ini banyak-banyak bisa mati." jawabnya.
"Itu pil tidur. Seberapa banyakpun yang kau telan, kau nggak akan mati, hanya tidur selamanya." ujarku.
"Nggak apa-apa." jawabnya pasrah.
"Kau bercanda? Itu lebih parah daripada mati. Kau bisa terjebak dalam mimpi buruk selamanya."
Bintang terdiam. Lalu dia bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah rak piring. Bintang mencabut sebilah pisau dapur dari tempatnya dan membawanya ke dekatku.
"Kau mau apa dengan itu?" tanyaku cemas. Aku takut dia akan melukaiku.
"Mungkin ini bisa bikin mati. Kau bisa membantuku?" tanyanya. Aku tertegun. Bintang pasti sudah gila.
"Aku nggak mau. Nanti tanganku kotor." jawabku sambil menelan ludah.
"Oh, baiklah." ujarnya lalu meletakkan pisau di atas kulit pergelangan tangannya. "Runi, ada pesan untuk ayahmu? Siapa tahu aku akan bertemu dengannya nanti." katanya lirih.
"Oh, ya, tentu saja. Tunggu." lalu aku berpikir-pikir kata-kata apa yang akan kubilang pada ayah nanti. Aku menutup mata dan membayangkan sosok ayah di dalam kepalaku, aku membayangkan masa-masa yang kulalui dengan pria yang pernah menjadi suami ibuku itu. Aku juga membayangkan masa-masa sulit yang aku dan mama lalui. Aku membayangkan masa-masa berat, masa-masa penuh rasa bersalah, masa-masa penuh amarah, masa-masa kesepian luar biasa. Lalu aku membuka mata dan menatap Bintang yang ada di hadapanku. Tidakkah aku sama sepertinya? Dia juga merasakan amarah, kecewa, sedih, dan sepi.
Kuraih tangannya dan kubawa dia ke cermin di ruang tamu. Bintang terlihat heran. Dia mengamati wajahnya dengan bingung. Lalu ketika dia melihat pantulan wajahku di cermin, Bintang tertegun. Selama beberapa saat kami terdiam saling memandang. Aku tahu bahwa dia menyadari apa yang kusadari. Dia melihat dirinya sendiri di dalam diriku.
"Jika kau pergi, aku akan selamanya sendiri." ujarku lirih.
"Jika kau pergi, aku akan selamanya sendiri." ujarku lirih.
"Kau tidak membutuhkanku." ujarnya tak kalah lirih.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu dan langsung membawanya keluar rumah.
Kami memandang ke atas langit gelap bersama. Bintang terlihat bingung tapi tetap memandang jauh menembus awan, entah kemana pikirannya membawanya pergi.
Aku menatap langit malam dengan sabar. Tidak lama kami melihat cahaya berjatuhan dari langit seperti hujan bintang. Indah sekali.
“Hujan meteor Geminid. Hanya terlihat setiap awal bulan Desember.” ujarku sambil menunjuk ke arah langit. Meskipun sebenarnya meteor itu bukan bintang, tapi dia disebut juga bintang jatuh. Meteor itu cahaya yang terlihat sewaktu sebuah meteorid jatuh dan terbakar di atmosfer bumi. Meteorid itu batu-batu kecil di ruang angkasa yang ditinggalkan komet atau asteroid yang melintas.” jelasku.
“Ohh.” gumam Bintang takjub.
“Hujan meteor Geminid. Hanya terlihat setiap awal bulan Desember.” ujarku sambil menunjuk ke arah langit. Meskipun sebenarnya meteor itu bukan bintang, tapi dia disebut juga bintang jatuh. Meteor itu cahaya yang terlihat sewaktu sebuah meteorid jatuh dan terbakar di atmosfer bumi. Meteorid itu batu-batu kecil di ruang angkasa yang ditinggalkan komet atau asteroid yang melintas.” jelasku.
“Ohh.” gumam Bintang takjub.
“Astér Kométés.” Gumamku beberapa saat kemudian. “Nama komet berasal dari bahasa Yunani, astér kométés, yang artinya bintang berambut panjang.” ujarku lagi.
Bintang masih diam sambil memandang langit. "Astér Kométés hanya terlihat sekejap, tapi cahayanya terang benderang bersinar dengan indahnya di gelapnya langit malam." sambungku. Bintang tertegun.
"Tetaplah di sini untuk menemaniku." kataku tanpa mengalihkan pandangan dari langit. Bintang menoleh padaku. "Tinggallah lebih lama daripada cahaya astér kométés." pintaku sambil menoleh padanya. Bintang meneteskan air mata. Perlahan dia memelukku. Aku merasakan detak jantungnya dan tahu bahwa dia masih ingin hidup.
:'((
ReplyDeletewhy are you sad, witecite?
ReplyDelete