Saturday, September 13, 2008

À Bien Tôt

Segerombolan anak laki-laki berjumlah 7 orang asyik duduk-duduk di tanah lapang sambil bercerita. Salah seorang dari mereka memegang bola kaki. Mereka semua baru saja istirahat setelah lelah bermain bola. Kaus yang mereka pakai basah oleh keringat dan kotor oleh tanah. Wajah mereka kelihatan lelah dan bersemangat. Mereka semua duduk sambil minum air putih kemasan botol yang memang sudah dibawa masing-masing dari rumah.
“Thierry, kau jadi pindah ke kota besar lusa besok?” Tanya Hans.
Bien sûr.[i]” jawabnya singkat sambil mengelap keringat di dahinya dengan lengan kaos oblongnya.
“Kau akan sering datang ke sini?” Tanya Theo. Thierry menatap sahabat kentalnya itu lekat-lekat. Memang mereka ber-7 bersahabat dekat, tapi Theo adalah sahabatnya yang paling dekat karena mereka sudah bersahabat sejak duduk di bangku TK sampai mau masuk kelas 3 SMP sekarang.
“Oh la la, pasti Theo sudah cemas duluan. Don’t worry friend, kita akan jaga sobatmu ini.” Canda Dimitri pada Thierry sambil mengakak disambut tawa teman-teman lainnya.
Non.[ii]” balas Theo sambil ikutan tertawa. Thierry diam. Sebenarnya dia mengharapkan Theo mengatakan “Oui[iii]” bukan “Non”.
“Hei, ayo kita selesaikan permainannya,” ajak Dion.
Allons-nous.[iv]” sorak anak-anak itu dan berlari ke tengah lapangan untuk melanjutkan permainan sepak bola.
“Thierry, ini mungkin permainan sepak bola terakhirmu dengan kami di sini.” ujar Simon.
“Buat gol, bung!” teriak Raphael dari gawang. Dia mengacungkan jempolnya pada Thierry. Thierry tertawa dan balas mengacungkan jempolnya. Simon mengoper bola padanya. Hans bertindak sebagai wasit. Dia berlari ke arah Thierry. Thierry menggiring bola menuju gawang lawan. Sebelum menggolkan bola, dia memandang wajah teman-temannya satu-persatu. Mereka semua memberi peluang padanya untuk mencetak gol.
“Mudah saja.” Pikirnya. Dilihatnya Theo yang jadi keeper di gawang lawan. Thierry tersenyum. Theo tidak pernah berhasil menangkap bola Thierry. Mata Theo menyipit, berusaha tetap focus.
C’est facile.[v]” batin Thierry. Tapi dia kemudian berubah pikiran. Ini mungkin permainan terakhirnya dengan Theo. Mungkin mereka tidak akan pernah berjumpa lagi dan bermain bola bersama lagi. Mungkin hanya ini kesempatan bagi Theo untuk berhasil menangkap bola Thierry. “Kenapa tidak.” Pikirnya lagi sambil mengangkat satu alisnya. Lalu dia menendang bolanya pelan seperti dalam gerakan slow motion. Tentu saja Theo berhasil menangkapnya. Raphael dan Simon yang satu tim dengan Thierry kecewa. Sedang Dion dan Dimitri yang satu tim dengan Theo terlihat heran.
“Thierry, seharusnya ini mudah. Lagipula hanya Theo, apa susahnya menggolkan bola?” Tanya Simon kecewa. Theo yang mendengarnya merasa tersinggung. Tapi dia diam saja.
C’est vrai[vi], kulihat tadi tendanganmu seperti sengaja dibuat lambat. Kau kenapa sih?” Tanya Raphael. Theo menatap Thierry tapi Thierry pura-pura tidak melihat. Lalu Theo mengambil tas ranselnya dan mengayuh sepedanya pulang.
Thierry terduduk lesu. Keringatnya berjatuhan. Teman-temannya ikut duduk di sampingnya. Lama mereka terdiam.
“Kau tadi nggak bermaksud memberi Theo hadiah perpisahan, kan?” Tanya Dimitri ragu-ragu. Thierry menatapnya penuh arti. Semuanya langsung bergumam menyesal.
Simon menepuk kepalanya sendiri. “Pasti perkataanku tadi benar-benar membuat dia tersinggung.” Katanya merasa bersalah.
“Sudahlah.” Ujar Thierry lesu. Lalu mereka bersepeda pulang.
Keesokan paginya, Thierry datang ke rumah Theo. Kebetulan sebelum dia mengetuk pintu rumah, Theo baru saja akan keluar.
Bonjour.[vii]” sapa Thierry.
Bonjour, c’est pour quoi?[viii]” balas Theo.
“Maafkan atas kejadian yang kemarin, ya? Sungguh, aku nggak bermaksud untuk…” Thierry tidak melanjutkan ucapannya. Mereka berdua terdiam.
Theo mengambil jaketnya dari balik pintu lalu memakainya. “Kau seharusnya menyusun barang di rumah.” Katanya sambil menutup pintu dan mereka berdua berjalan bersama.
“Aku sudah selesai. Dengar, aku…” suara Thierry memelas.
“Aku harus ke bengkel ayahku sekarang. Waktunya buka, sudah jam setengah delapan.” Potong Theo sambil pergi mendahului Thierry. “Kau pulanglah.” Tambahnya tanpa menoleh sambil terus berjalan. Thierry memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya dan pulang dengan lesu.
Ibu menyiapkan sarapan sambil terus memperhatikan Theo yang murung sejak kemarin. “Bukannya Thierry pindah ke kota besar hari ini, Theo?” tanyanya.
Oui.” Jawab Theo singkat dan pelan.
“Kau tidak pergi melihatnya?”
Il ne faut pas la peine d’y aller.[ix]
“Mungkin kau tidak akan jumpa lagi dengannya.” Ibu mengingatkan.
Cela ne fait rien.[x]
Ibu menatap Theo lama. “Bagaimanapun, akan terasa sakit di sini.” Kata ibu seraya menunjuk dada Theo. Lama Theo diam. Lalu dia berdiri.
“Aku mau jalan-jalan sebentar.” Katanya lalu segera melesat ke luar. Dia mengayuh sepedanya kencang-kencang di jalan menuju rumah Thierry. Di tengah jalan dia jumpa dengan teman-temannya.
“Theo!” teriak mereka.
“Thierry sudah pergi 5 menit yang lalu.” Ujar Dimitri. “Tadi dia menunggumu.” Tambahnya.
Theo segera mengayuh sepedanya lebih kencang. Dilihatnya di kejauhan mobil Thierry melaju kencang. Attende-moi[xi]!! Thierry!!” teriaknya. Tapi dia kelelahan, lalu dia berhenti mengayuh dan menatap mobil Thierry dengan tatapan sedih. Nafasnya memburu, bajunya basah oleh keringat dan dadanya sesak. Dia hampir saja menangis tapi dia lalu teringat jalan potong lewat tanah lapang. Cepat Theo mengayuh sepedanya. Sepedanya melaju kencang di antara anak-anak yang bermain bola kaki dan layangan di tanah lapang. Kakinya pegal dan kerongkongannya kering. Tak ada waktu untuk berhenti. Di kejauhan dilihatnya mobil Thierry, semakin kencang dia mengayuh sepedanya.
“Thierry!!” teriaknya. Nafasnya tinggal satu-satu. Mobil tidak juga berhenti. “Thierry….!!!!” Teriaknya lagi. Sia-sia, batin Theo. Dia berhenti, menatap mobil sambil menangis. Tiba-tiba mobil berhenti. Pintunya terbuka dan Thierry berlari keluar dari sana sekencang mungkin ke arah Theo. Setelah mereka saling berhadapan, mereka saling memandang, seolah lupa akan apa yang mau dikatakan. Tapi nafas mereka sama-sama tersenggal-senggal karena kelelahan.
“Ada apa?” Tanya Thierry akhirnya. “Kau naik sepeda sampai sejauh ini? Bajumu basah sekali. Kau nggak sedang olah raga pagi, kan?” tanyanya. Mendengar itu Theo tertawa.
“Kukira udah terlambat.” Katanya lirih sambil menyeka air matanya dengan lengannya.
“Terlambat untuk apa?” Tanya Thierry.
Theo menyodorkan tangannya untuk bersalaman. “Mengucapkan selamat tinggal.” Jawabnya dengan suara tercekat. “Terima kasih untuk bolanya semalam. Tapi itu terlalu mudah.”
Thierry tertawa geli. “Ce n’est rien.[xii] Ok, lain kali kau nggak akan kuberi kemudahan.” Ujarnya. Lalu dia memeluk Theo, dia merasa takut kehilangannya.
“Ayo, Thierry, nanti kita kemalaman sampai di sana.” Panggil ibu Thierry.
Oui, Maman.[xiii]” sahutnya lalu melepas pelukannya. À Bien Tôt.” Katanya pada Theo dan berlari ke arah mobil. Lalu mobil tersebut melaju kencang meninggalkan Theo. Theo terdiam, menatap mobil sampai hilang di tikungan. Dia mendesah dengan berat, lalu berbalik. Tak jauh darinya, teman-temannya sudah menunggu. Mereka bersepeda sama-sama menuju tanah lapang.
“Kau mau kubonceng, Theo?” Tanya Simon. “Kau pasti capek, ya.”
“Kau haus, nggak?” Tanya Hans.
Theo menoleh ke belakang sambil tersenyum. No, I’ll be fine.À Bien Tôt[xiv], Thierry, bisiknya dalam hati.
FIN.

[i] Bien sûr = tentu saja.
[ii] Non = tidak.
[iii] Oui = ya.
[iv] Allons-nous = ayo.
[v] C’est facile = ini mudah.
[vi] C’est vrai = benar.
[vii] Bonjour = selamat pagi.
[viii] C’est pour quoi? = ada perlu apa?
[ix] Il ne faut pas le peine d’y aller = tidak ada gunanya pergi ke sana.
[x] Cela ne fait rien = tidak apa-apa.
[xi] Attende moi = tunggu aku.
[xii] Ce n‘est rien = tidak masalah.
[xiii] Maman = mama.
[xiv] À Bien Tôt = sampai jumpa lagi.

No comments:

Post a Comment