Aku masih memegang gagang telepon ke telingaku. Aku masih bisa dengar kata-kata Fifi yang berusaha menghiburku. Tapi aku nggak bisa bicara apa-apa lagi.
”Mel, maaf ya, kau harus nerima kabar buruk pagi-pagi begini. Aku benar-benar nyesal sudah memberitahumu, seharusnya tadi aku diam saja. Tapi aku nggak tahan. Aku nggak ingin kau yang belakangan tahu. Aku juga kesal sama dia. Sungguh.” kata Fifi dengan nada menyesal. Aku cuma bisa diam. ”Mel?” panggil Fifi sekali lagi. ”Kau nggak apa-apa, kan ?” nggak apa-apa bagaimana? Aku mau nangis saja rasanya. ”Mel, aku ke rumahmu, ya? Kau kujemput, ya? Kau ke kampus kan hari ini? Kau harus datang. Aku kan mau ngasih bahan tugas Agraria kita ke kau.” bujuknya.
”Aku nggak apa-apa, kok.” sahutku akhirnya dengan lemah. ”Entahlah, Fi, aku nggak janji bisa ke kampus hari ini. Aku nggak enak badan. Nanti malam saja kau antar ke rumahku, ya?” pintaku.
”Karena Tirta, ya?” tebak Fifi. Aku tertohok.
”Sudah dulu, ya, Fi. Komputerku hang lagi, nih.” ujarku berbohong. Telepon langsung kumatikan sebelum Fifi menjawab. Aku kembali ke komputerku dan menatap nanar layar monitor yang berisi tulisan tugas esay yang harus dikumpul besok sama Dosen Agrariaku. Tapi aku nggak bisa lagi berkonsentrasi. Semua pikiranku malah tercurah ke masalah tadi.
Hari ini sebenarnya aku kuliah siang, itu pun cuma satu sks saja. Sedangkan Fifi sudah nongol di kampus dari sejak jam tengah 8 tadi pagi.
Hari ini adalah hari ulang tahun Tirta yang ke-22. Hari ini spesial baginya, juga bagiku. Aku tadinya masih benar-benar merasa senang sampai Fifi menyampaikan kabar itu. Fifi bilang Tirta sudah nggak single lagi. Tepat hari ini, dia jadian sama seorang cewek entah siapa. Aku kaget dan masih nggak bisa percaya. Selama ini yang kutau Tirta nggak sedang dekat dengan seorang cewek pun selain aku. Atau, aku saja yang nggak pernah mengetahuinya? Jadi selama ini dia sedang melakukan pendekatan dengan seorang cewek pada saat dia sedang bersamaku. Tapi kami kan sahabat dekat, kenapa dia nggak pernah cerita?
Aku mendesah. Aku kira selama ini dia menyukaiku. Ternyata dia hanya berteman denganku. Aku menghela nafas kuat-kuat. Seharusnya aku tahu.
Aku terkenang saat pertama kali kami bertemu. Saat itu kami masih semester 2. Semuanya karena dosen Hukum Perdata memberi tugas mengambil contoh akta dari Pengadilan dan menganalisanya. Kami bertemu di Pengadilan Negeri Medan . Kami duduk di bangku-bangku yang panjang, saling melempar pandang, dan sedang sama-sama bingung kayak orang sakit amnesia. Di antara orang-orang yang hilir mudik di situ, hanya dia yang kukenal dan sepertinya dia juga begitu. Kemudian dia menghampiriku dan mengajakku bekerja sama untuk menjumpai bagian tata usaha. Kami malah janjian mengerjakan tugas itu bersama-sama. Akhirnya kami jadi sering bertemu secara rutin dan semakin akrab tiap harinya.
Tirta dan aku saling cocok satu sama lain. Dan sepertinya juga kami saling menyukai satu sama lain. Kami bahkan saling melengkapi satu sama lain. Dia suka bercanda dan aku suka tertawa. Aku suka berceloteh dan dia suka mendengarkan cerita. Aku suka tiba-tiba moody dan dia suka tiba-tiba heboh.
Aku terkenang saat-saat bersama Tirta. Pernah kemarin kami berdua pergi ke Merdeka Walk dan nongkrong di sana mulai dari sore sampai hampir tengah malam. Untung saja pada waktu itu nggak dirazia polisi. Hari itu sungguh menyenangkan sekali. Dia terus-menerus mendengarkan keluhanku dan nggak berhenti menghibur saat aku sedih gara-gara dapat nilai D pada mata kuliah Hukum Adat Pertama. Tirta selalu mendengarkan ceritaku dengan penuh perhatian dan selalu menatap lembut tiap kali aku berbicara. Dia benar-benar membuat aku merasa begitu istimewa.
Dadaku bergemuruh. Rasanya aku ingin menemui Tirta sekarang dan memakinya tepat di depan wajahnya. Aku rasa aku nggak akan rela dia pacaran sama cewek lain. Maksudku, buat apa selama ini dia memberi harapan padaku? Aku harus ke kampus sekarang. Aku harus tanya Fifi apa sebenarnya yang terjadi. Kumatikan komputer dan segera menuju kamar mandi.
Aku berdiri mematung di bawah pancuran shower. Rasanya seperti mimpi buruk saja. Aku ingin segera bangun.
Kenapa dia tidak memilihku? Apa yang salah di antara kami? Kukira semuanya berjalan dengan sempurna. Seharusnya aku lebih perhatian padanya. Seharusnya aku lebih terbuka padanya. Seharusnya tadi pagi aku pergi saja ke kampus dan menemuinya. Aku mengeluh. Rasanya aku mau nangis saja. Ini nggak adil!
Kurang perhatian apa aku ke dia? Jadi buat apa kemarin aku mau bela-belain mendengar keluhannya jam 2 dini hari hanya gara-gara tim sepak bola unggulannya kalah dalam pertandingan? Untuk apa aku pergi menemaninya seharian penuh keluar-masuk hampir seluruh toko buku yang ada di kota Medan ini (mulai dari Gramedia Gajah Mada, Gramedia Medan Mall, Gramedia Sun Plaza, Toko Buku Karsa Murni, sampai toko buku bekas di Jalan Salak dan Titi Gantung, belum lagi toko-toko buku yang aku nggak pernah tahu ternyata ada) hanya untuk mencari buku yang dia hanya ingat warna covernya saja? Untuk apa aku rela terlambat masuk kursus bahasa selama 30 menit gara-gara menonton dia tanding judo di dojo yang tempatnya jauh bukan main?
Aku benci Tirta. Aku sakit hati. Aku merasa seolah-olah dia merenggut jantungku dengan paksa dari dalam dadaku, menariknya keluar, melumatnya, dan meninggalkannya begitu saja. Ini sungguh menyakitkan.
Aku memarkirkan mobilku. Fifi sudah menunggu rupanya. Tumben.
”Kukira kau nggak jadi datang,” katanya sambil menyambutku keluar dari dalam mobil. ”Kau nggak apa-apa kan , Mel?” tanyanya cemas.
”Ya iya lah.” jawabku sambil tertawa maksa. Fifi menatapku dalam sambil menyipitkan matanya. ”Nggak ada yang perlu dikuatirkan.” tambahku cepat sambil berusaha tetap mempertahankan wajah ceria dengan senyum lebar di wajah yang lebih mirip seringai daripada senyuman. Fifi malah mengangkat satu alisnya dengan pandangan menyelidik. Aku segera menghindari tatapan matanya yang menyebalkan itu. ”Alright! Alright! Mana bahannya?” ujarku dengan nada bercanda. Fifi menghela nafas sambil mengeluarkan buku tebal dari dalam tasnya yang besar dan menyerahkannya padaku. Aku menerimanya dan memasukkannya ke dalam tasku. Lalu dia masih mengeluarkan sesuatu lagi dari dalam tasnya. Sebatang coklat. Dia memandangku sejenak sebelum akhirnya menyerahkan coklat itu. Aku menoleh pada Fifi dengan pandangan bertanya. Tumben.
”Untukmu. Biar kau jangan kesal lagi.” ujarnya tenang. Aku mendelik sebal padanya, tapi kuterima juga coklat itu. Lumayan. ”Dia di parkiran sekarang.”
”So?” tanyaku balik dengan nada sinis dan mimik wajah muak yang mengganggu.
Fifi memutar bola matanya. ”Bukannya kau mau ketemu sama dia?”
Aku tertohok. ”Nggak!” bantahku cepat. ”Aku kan ke sini mau ngambil bahan tugas Agraria kita. Aku nggak peduli sama dia. Biar dia sudah pacaran juga aku nggak ada masalah. Memangnya dia siapaku? Tetangga bukan, sepupu bukan, saudara bukan, teman bukan, pacar bukan...” tukasku marah karena hampir ketahuan.
”Yakin?” tantang Fifi tenang.
”Ya iya lah!” tangkisku cepat. ”Ngapain sih ngomongin dia lagi?!”
”Ya sudah, terserahmu saja.” ujar Fifi dengan mimik wajah tenang yang sungguh menyebalkan.
Aku berjalan sendirian di koridor kampus yang padat. Tadi jam 10 Fifi masuk kuliah. Janjinya kami akan makan siang sama. Jam kuliah pagi sudah selesai. Dia bilang supaya aku menunggunya di koridor, tapi yang ditunggu malah nggak kelihatan batang hidungnya dari tadi. Tiba-tiba aku melihat Tirta berjalan ke arahku. Entah kenapa aku nggak mau melihat wajahnya. Aku segera pergi dari tempat itu. Aku berjalan cepat-cepat agar dia nggak sempat mengejarku. Tapi tiba-tiba bahuku ditarik.
”Oyyy.” katanya sambil ngos-ngosan. Dia membalikkan badanku. ”Ngapain lari??” tanyanya. Aku diam saja sambil mendengus kesal. Tapi dia malah tertawa geli dan itu sungguh menjengkelkan. ”Lagi nungguin aku tadi, ya?” godanya sambil tersenyum jenaka. Benar-benar menyebalkan. Aku melengos pergi, meninggalkannya cekikikan sendirian. ”Euh? Mel?” tanyanya heran. ”Ada apa, sih? Nafasku bau, ya?” candanya sambil menghembuskan nafas kuat-kuat ke telapak tangannya dan mencoba menghirup uap yang keluar tadi. ”Segar, kok.” ujarnya sambil tersenyum geli sendiri. Aku memandangnya dengan tatapan muak.
”Nggak lucu.” ujarku ketus sambil meninggalkannya. Tirta masih juga mengikutiku. Mau apa sih dia? Ngapain ngekori aku dari tadi?
”Makan siang, yuk.” ajaknya. Belum lagi aku menjawab, dia sudah menarik tanganku dan menyeretku ke kantin kampus. Aku diam saja, membiarkannya membawaku ke sana .
Tirta memesankan makan siangku. Aku masih diam sambil menatapnya dengan gelisah. Aku ingin menanyakannya: bagaimana sebenarnya perasaannya padaku selama ini? Tapi logis nggak sih kalau aku yang nanya begitu padanya? Aku kan cewek.
”Kau mau ngomong apa?” tanyanya seolah mengetahui apa yang sedang kupikirkan. Tiba-tiba saja dia mengambil tanganku yang kuletak di atas meja dan meletakkannya di dalam genggamannya. Dia tersenyum dengan lembut sambil memandangku. ”Kalau ada masalah, ngomong saja. Mungkin aku bisa bantu.” katanya.
Aku masih membisu. Terpana sesaat. Menyadari status Tirta sekarang ini, aku menarik tanganku dari genggamannya dan meletakkannya di atas pangkuanku. Pesanan kami datang. Tirta segera menyantap makan siangnya. Tapi aku bahkan nggak menyentuh makananku sedikitpun. Tirta memandangiku dengan tatapan bingung.
”Kok diam saja? Sakit perut, ya?” tanyanya. Tiba-tiba dia terbelalak dengan mimik lucu. ”Jangan-jangan kau belum gosok gigi, ya?”
Perutku jadi sakit beneran gara-gara mikirin masalah ini. Ditambah lagi tingkah Tirta yang seolah-olah nggak ada apa-apa. Aku putuskan, aku akan katakan padanya. Aku nggak peduli dia mau marah, kecewa, atau bahkan nggak memberi respon sedikitpun. Aku membulatkan tekadku dan mengumpulkan keberanian.
”Tir, aku...” kataku memulai dengan suara sedikit bergetar. Dia mendengarkan dengan penuh perhatian. Aku menelan ludah. ”Mungkin aku terlalu berani mengatakan ini padamu. Kau nggak perlu membalasnya. Bagiku sudah cukup kalau kau sudah tahu.”
Tirta berhenti makan. Perhatiannya kini benar-benar terfokus padaku. Aku menarik nafas panjang dan terdiam sesaat. Kenapa lidah ini jadi kelu, ya? Aku meremas-remas jariku dan nggak berani memandang Tirta lagi.
”Apa?” tanyanya. Keberanianku tiba-tiba menguap. Kakiku jadi bergetar. Rasanya ingin lari saja dari sini. ”Kau mau ngomong apa?” tanyanya sabar. Aku diam saja, menunduk makin dalam.
”Lupakan saja. Nggak penting, kok.” ujarku sambil cengengesan nggak jelas. Tirta mengernyit. Dia memandangku lurus-lurus. ”Lanjutin saja makannya.” kataku sambil nyengir kayak kuda. Benar-benar kacau. Aku jadi salah tingkah.
”Jadi kepikiran.” ujar Tirta merengut. Aku diam saja dan pura-pura makan dengan penuh konsentrasi. Tiba-tiba Tirta menarik piringku. Aku kaget.
”Aku lagi makan.” kataku kecewa.
”Nanti bisa kau lanjutkan lagi.” katanya acuh. Kenapa dia? Aku meletakkan sendokku dan menghela nafas. ”Setelah kau bilang apa yang mau kau katakan tadi.” lanjutnya santai. Deg. Aku terhenyak.
Lama kami membisu. Dia tetap memandangku dengan pandangan bertanya. Dilihat dari gayanya, kayaknya dia punya banyak waktu luang untuk menungguku mengatakannya. Aku menghela nafas. Sudah terlanjur. ”Iya, iya.” ujarku akhirnya.
Tirta mencondongkan badannya dan menyipitkan matanya. Kenapa dia tiba-tiba berubah serius seperti itu? Sungguh mendebarkan. Aku menghela nafas lagi.
”Seperti yang kubilang tadi, aku hanya ingin kau tahu. Kau nggak perlu membalasnya. Aku sadar, statusmu sudah berbeda sekarang. Tapi aku berharap kita masih bisa jadi teman. Maksudku, tentu saja nggak sedekat dulu lagi. Karena kau kan sudah nggak kayak dulu lagi. Maksudku, kita nggak bisa seperti dulu lagi. Maksudku, tetap bisa seperti dulu, tapi nggak seperti dulu. Maksudku....” aku terdiam, bingung sendiri dengan kata-kataku barusan. Sebenarnya aku mau ngomong apa sih barusan?
”Intinya saja.” kata Tirta sabar. Aku menunduk dalam-dalam. Ya sudahlah, sudah kepalang tanggung. Aku menghela nafas.
”Aku suka padamu.” kataku lirih setengah berbisik. Sepi. Aku memejamkan mata, berharap tiba-tiba menghilang dari situ. Rasanya ingin mengubur kepalaku dalam-dalam. Kenapa dia nggak mengatakan sesuatu? Aduh, aku jadi mual. Tiba-tiba daguku disentuh dan perlahan diangkat olehnya. Aku membuka mata takut-takut. Dan apa yang kulihat di hadapanku? Anak laki-laki yang sedang tersenyum geli dengan mimik wajah jenaka yang menjengkelkan. Sebelum aku mengatakan sesuatu dia sudah mendahuluiku.
”Aku juga.” ujarnya. Aku terhenyak. Lalu mengorek-korek kupingku dengan jari. Mungkin saja aku salah dengar. ”Jadi pacarku ya, Mel?” pintanya dengan senyum manis yang aku nggak pernah tahu ternyata dia punya. Aku terbengong.
”Pacarmu mau kau kemanain?” tanyaku akhirnya dengan heran. Dia malah tertawa ngakak.
”Pacar yang mana?” tanyanya kocak. Aku mengernyit.
”Lihat ke sini, Mel.” ujar Fifi tiba-tiba yang ternyata ada di situ dari tadi sambil merekam kami pakai handycam segala. ”Senyum, Mel.” ujarnya lagi. Aku benar-benar terperangah.
”Apa-apaan ini? Kalian mempermainkanku, ya?” tanyaku gusar. Fifi tertawa geli. Ini sungguh memalukan. Aku berjalan cepat-cepat meninggalkan tempat itu dan menuju mobilku di parkiran, nggak kepikiran lagi sama kuliahku yang akan mulai setengah jam lagi. Tak kugubris lagi Tirta yang mengejarku sambil berteriak-teriak memanggilku.
Malam itu aku duduk sendiri di kamarku. Merenung. Kecewa. Kesal. Benci. Sedih. Emosi.
Kuraih coklat dari Fifi tadi pagi. Kuharap dengan memakannya bisa menghilangkan kekesalanku. Tiba-tiba Hpku berbunyi. Private number. Siapa lagi ini?!
”Halo.” jawabku ketus.
”Kau belum jawab pertanyaanku tadi.” katanya. Huh, Tirta. Licik juga siasatnya. Aku diam saja.
”Mel? Ini kau, kan ?” tanyanya ragu.
”Bukan, mamanya.” tukasku kesal.
”Eh, sori ya, tan. Imelnya ada, tan?” candanya.
”Nggak ada.” masih bisa juga dia bercanda. Keterlaluan.
”Aku serius, Mel.” katanya dengan nada lebih daripada serius. Aku masih diam. Dia menghela nafas. ”Aku menyesal. Maafkan aku. Aku memang keterlaluan. Tapi aku serius suka padamu. Aku serius dengan pertanyaanku tadi.” jelasnya. ”Mungkin caranya salah, ya?” tanyanya.
”Norak.” jawabku ketus. Tirta malah tertawa renyah.
”Ya iya lah harus norak. Namanya juga mau diabadikan. Biar kelak aku tunjukin sama anak cucuku.” candanya. Aku jadi tertawa geli dibuatnya. ”Jadi mau nggak?” tanyanya lagi.
”Apanya?” aku pura-pura nggak ngerti.
”Ya itu.”
”Itu apa?” candaku.
”Mel.” dia mendesak. Aku tertawa renyah mendengar suaranya yang merajuk.
”Mau apa, sih?” candaku lagi. ”Mau kue? Mau baju baru?” candaku. Tirta terdiam sejenak. Lalu aku mendengarnya menghela nafas.
”Pacaran denganku.” katanya lirih. Aku tersenyum geli. Tetap diam. Membiarkannya menerka-nerka. ”Mel??” panggilnya.
”Kau kan sudah tahu apa jawabku.” kataku akhirnya.
”Makasih, ya, Mel.” ujarnya lembut.
”Sama-sama.” dan kami berdua tertawa ngakak bersama. ”Kapan kita makan-makannya?” tanyaku.
”Ulang tahunku sudah mau lewat 4 jam lagi.” ujarnya.
Aku tiba-tiba teringat belum mengucapkan selama ulang tahun padanya. ”Happy birthday, ya, Tir. Kadonya sudah terima, kan ? Gimana, suka nggak?”
”Kado yang mana?” tanyanya heran.
”Yang barusan ini lah.” ujarku terkikik.
”Oh, ya, ya. Makasih, ya. Suka sekali. Apalagi kalau besok pagi kau mau keluar denganku.”
Hah? Kencan pagi hari?
”Mau kemana kita?” tanyaku dengan perasaan meluap-luap.
”Ke pengadilan.” ujarnya. Aku teringat saat pertama kali bertemu dengannya dulu. Mungkin dia mau mengajakku kencan di tempat pertama kali kami bertemu. ”Aku mau ngambil putusan pidana untuk skripsiku.” lanjutnya kalem.
Gedubrakkk!!! Dasar Tirta. Dia memang kadang menyebalkan. Tapi aku sayang padanya.
Selesai.
26 Januari 2006
Revisi, 5 Agustus 2008.
No comments:
Post a Comment