
Saturday, December 27, 2008
Monday, December 8, 2008
Wednesday, November 26, 2008
PIKIRAN BURUK
Kau datang entah dari mana.
Tiba-tiba aku tertegun saat menatap matamu.
Ada sihir di sana yang membuatku menjadi bukan diriku.
Aku merasakan luka dan bingung dikarenakan setiap gerak-gerikmu yang menghipnotisku tanpa disengaja.
Tahun-tahun yang kualami dengan perasaan seolah hatiku diremas, jantungku berdetak tak karuan dan rasa emosi serta posesif.
Kau tidak melakukan apa-apa. Kita bahkan dulu hampir tak pernah berbicara.
Tapi kau selalu tersenyum padaku seolah menurutmu perbuatanmu itu tak mengakibatkan apa pun padaku.
Aku mengeraskan hatiku. Aku berusaha keras untuk tidak memandangmu. Aku berbuat seolah-olah tidak mengenalmu. Aku bersembunyi darimu.
Sampai akhirnya aku merasa kau semakin jauh dariku.
Seharusnya aku senang karena akhirnya aku hampir terlepas dari sihirmu, tapi mengapa aku merasa hampa? Tiba-tiba saja secara perlahan aku kehilangan sebagian dari diriku. Aku menyadari, bagian-bagian dari diriku telah terikat dengan sihir yang kau berikan padaku. Semakin aku menghilangkannya, semakin aku kehilangan diriku.
Kini aku hanya sebuah wadah kosong tertutup yang dipenuhi udara yang tak bergerak.
Namun kau menemukanku teronggok bisu di antara waktu. Dan kau tidak menghindariku.
Tiba-tiba saja kita berada dalam dunia yang sama dan aku semakin tahu kau sebenarnya tidak pernah jauh dariku.
Aku mulai memberanikan diri untuk membalas tatapanmu dan membalas senyumanmu. Aku bahkan membiarkan kau mendekatiku. Aku tidak takut lagi untuk berbicara denganmu. Aku mulai menikmati setiap waktu yang kuhabiskan bersamamu.
Namun kecemasan kembali melandaku. Aku mulai takut kau akan pergi meninggalkanku. Perlahan aku kembali mengeraskan hatiku dan berbalik darimu.
Namun kau tidak pergi meninggalkanku. Kau bahkan tidak menjauh dariku.
Dan aku mulai mengerti.
Aku akan selalu bisa memandangmu, berbicara denganmu, tertawa bersamamu, bahkan duduk di sebelahmu.
Aku hanya harus membuka hatiku.
Friday, October 17, 2008
PADA LAMPU MERAH DAN LAMPU HIJAU
Seorang wanita paruh baya di dalam mobil kecil sedang memikirkan rencana untuk bunuh diri karena masalah hidup yang rumit. Sambil menunggu di lampu merah dia berpikir-pikir.
Apa sebaiknya gantung diri saja ya? Bagaimana kalau mengiris pergelangan tangan? Atau kutusukin saja tepat di jantung? Langsung mati tidak ya? Sakitnya lama tidak ya? Atau.... dia berpikir-pikir lagi. Telapak tangannya basah. Tiba-tiba dilihatnya bus besar di seberang juga sedang berhenti menunggu lampu merah. Bagaimana kalau kutabrakkan saja mobil ini ke bus? Bisa langsung mati di tempat tidak ya? Jangan-jangan langsung dibawa ke rumah sakit terdekat. Dia mendesah. Berpikir lagi. Racun. Kalau minum racun tikus bagaimana? Atau langsung saja aku teguk habis baygon di rumah? Baunya tak enak, aku pasti langsung muntah. Bisa-bisa aku tak jadi mati.
Dia berpikir lagi. Wajahnya diam kaku. Matanya menerawang jauh. Pil tidur. Praktis, efisien, bersih, dan pasti mati. Setelah lampu merah ada apotik. Akan kubeli banyak-banyak di situ. Berapa banyak dibutuhkan? Ratusan? Akh, ribuan pun akan kuminum. Aku tak ingin bangun lagi. Tapi bagaimana jika aku hanya tidur untuk selama-lamanya? bagaimana jika aku terperangkap dalam mimpi buruk dan tak bisa bangun lagi?
Lampu hijau menyala. Wanita itu masih berpikir. Mobil yang di belakangnya sibuk membunyikan klakson panjang dan nyaring. Seorang polisi yang sedang patroli lalu lintas bingung dan mendekatinya.
”Selamat siang, bu.” sapanya. Wanita itu menoleh dan membuka jendela mobilnya. ”Lampunya sudah hijau.”
”Kenapa?” tanya wanita itu linglung. Polisi itu bingung. Dipandangnya dengan teliti wanita yang terlihat putus asa itu. Di pipinya yang lebam masih terlihat sisa-sisa air mata yang mengering. Matanya bengkak dan bibirnya pecah. Semuanya pemberian suaminya.
”Seharusnya ibu jalan terus. Lampunya sudah hijau.” tambahnya.
Si wanita tercenung. Jalan terus. Pikirnya. Tiba-tiba dia teringat pada nyawa di dalam perutnya yang membuncit seperti bola. Dan dia langsung terkesiap kaget karena nyaris saja berpikir untuk membunuh darah dagingnya. Dielusnya perut itu dengan mesra.
”Ibu bisa saya bantu?” tanya polisi prihatin.
”Saya akan jalan terus, pak.” ujarnya yakin dengan suara tercekat. Dan dia melewati apotik dengan lega.
INSOMNIA
Aku tidak bisa tidur, masih mendengarkan radio yang dibawakan oleh penyiar Rendi. Lagu yang diputar adalah Kokoro no tomo. Aku baru saja selesai menonton film siaran ulangan di televisi “The Wedding Planner”. Benar-benar film dengan akhir yang sangat buruk. Terlalu dipaksakan. Tidak romantis dan tidak berkesan. Norak.
Awal, pertengahan, hingga 1 menit sebelum film berakhir masih bagus, hingga Dr. Steve datang dan menikahi Mary. Entah bagaimana si Massimo yang sangat mencintai Mary itu dengan senang hati seolah tanpa beban mengantar Dr. Steve ke Mary untuk dinikahi! Ada-ada saja.
Aku membayangkan film itu lebih romantis dan lebih berkesan. Aku membayangkan Mary terlanjur menikah dengan Massimo yang sangat mencintainya. Dr. Steve menyaksikan mereka ”Kissing” sebagai suami istri. Lalu dia pergi ke luar balai kota dan berjalan sendirian dengan masih memakai tuxedo pernikahannya. Dia pun pergi ke tempat dimana mereka hampir berciuman. Lalu hujan turun. Dia tersenyum merelakan. Dan tamat.
Aku tidak percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Aku lebih percaya ada teman yang akhirnya saling mencintai. Lebih realistik. Sebab rasanya cinta tak akan bisa tumbuh tanpa adanya faktor kebiasaan, frekuensi pertemuan dan interaksi.
Dan rasanya tidak ada orang yang benar-benar menemukan belahan jiwanya dengan cara mengorbankan perasaan orang lain. Bukannya cinta tumbuh karena kasih? Dan rasanya kasih tidak berdiri di atas penderitaan orang lain, kan?
Aku melirik jam. Sudah jam setengah tiga pagi. Lagu-lagu masih ada di radio. Entah siapa penyanyinya. Aku tak peduli. Aku menghitung jam, menunggu pagi. Aku senang jika pagi akhirnya datang. Tapi tetap terjaga di malam hari juga sering membuatku senang. Banyak yang bisa kukerjakan dengan tenang tanpa ada telepon atau orang yang mengganggu. Seperti sekarang ini. Masih dengan piyama plus jaket tebal, aku pergi ke kedai 24 jam. Aku menatap ke deret-deret coklat yang menggiurkan, bingung harus memilih yang mana. Seperti kemarin. Aku pergi ke rumah makan 24 jam dan aku bingung menentukan apakah beli martabak mesir atau mie hun goreng.
”Katanya, perempuan yang tidurnya kurang dari 5 jam sehari bisa berakibat 3 kali lebih besar kemungkinannya terkena obesitas dari pada mereka yang tidak.” ujar seorang pria yang tiba-tiba saja berdiri di sampingku.
”Oh, dan pria tidak?” tanyaku kesal.
”Insomnia juga ya?” tanyanya sambil tertawa kecil lalu mengambil sebatang coklat dari rak yang ada di depanku. Mataku tertuju pada jari-jari besar dan bulat yang mengambil coklat itu lalu perlahan aku menyusuri tangan dari jari-jari itu dengan mataku dan pandanganku tepat berhenti pada pria yang mengajakku bicara tadi. Aku langsung mengurungkan niat untuk membeli coklat dan berpikir untuk segera pulang ke rumah. Aku harus tidur.
Selesai.
SENYUMMU MANIS SEKALI
Ujian semesteran sudah selesai. Aku keluar dari ruang ujian dengan wajah tersenyum berseri-seri. Ceria sekali. Jujur saja, ini pertama kalinya sepanjang sejarah pendidikanku, aku merasa begitu bersemangat sewaktu ujian. Aku yakin, semester ini Indeks Kumulatifku akan mencapai 3 (biasanya paling tinggi cuma 2, 98!).
Biasanya kalau ujian aku selalu punya banyak cara untuk mengalihkan perhatian dari buku-buku kuliah yang seharusnya sudah kubaca jauh hari sebelum ujian tiba. Aku bisa tiba-tiba lebih tertarik untuk membersihkan kamar mandi dari pada mengulang pelajaran. Aku tidak pernah benar-benar membaca buku pelajaran karena merasa sudah mendapat cukup dari kuliah yang kuikuti.
Tapi semester ini begitu berbeda. Aku bahkan rela tidak tidak tidur semalaman demi membaca buku agraria 2 yang tebalnya 565 halaman (aku selesai membacanya dalam waktu kurang dari seminggu) dan merasa sia-sia jika tidak melanjutkan membaca undang-undangnya. Mungkin penyebabnya gara-gara aku mendapat nilai D untuk mata kuliah Hukum Adat 2 semester lalu. Itu nilai D pertamaku seumur hidup dan rasanya sakit sekali. Aku sampai menangis seminggu penuh. Sayangnya kenapa hal ini baru terjadi setelah aku berada di semester 5? Betapa 4 semester berlalu dengan sia-sia. Tapi seperti kata pepatah: lebih baik telat daripada tidak sama sekali.
Aku masih saja memasang tampang ceria sambil berjalan ke koridor kampus menuju gerbang keluar. Rasanya aku ingin tersenyum terus sepanjang hari dan berbagi kebahagiaan dengan para mahasiswa yang bertampang kusut. Rasanya aku ingin bilang: ”ceria dong, ini kan ujian!”
Lalu tiba-tiba aku melihatnya datang dari arah berlawanan denganku. Dia seniorku. Orangnya dingin dan acuh. Sebenarnya dia cukup menarik andaikan dia bisa agak lebih ramah dan banyak senyum pada orang. Singkatnya, aku suka padanya. Tapi kata teman-temanku dia tidak suka dengan cewek yang tidak mampu menyamai prestasinya yang selama 3 tahun berturut-turut selalu dinobatkan menjadi mahasiswa paling berprestasi di kampus. Kalau dipikir-pikir, aku memang sangat jauh dari harapannya yang paling rendah. Tapi hari ini aku sedang senang. Jadi aku tersenyum lebar padanya. Dia menoleh padaku dengan wajah heran dan alis mengernyit. Setelah melewatinya, aku merasa begitu bodoh dan malu.
Rasa senang berubah menjadi gelisah. Aku sampai tidak bisa tidur padahal jam sudah menunjukkan pukul 11 malam.
Tiba-tiba HP ku berdering. Nomor tak dikenal. Ah, paling-paling orang iseng lagi. Malas mengangkatnya. Tapi nomor itu bolak-balik menghubungiku. Emosi juga jadinya.
”Ya?” jawabku uring-uringan.
”Maaf,” terdengar suara dari seberang. ”Ini Lunet?”
”Hmmm.” jawabku acuh tak acuh. ”Siapa ini? Tau nggak sekarang jam berapa??”
”Maaf. Ini Andra.” jawabnya. Sontak aku bangkit dari tidur. ”Maaf mengganggumu.” sambungnya. ”Tapi senyummu manis sekali. Aku jadi tak bisa tidur.”
Selesai
Thursday, October 9, 2008
Saturday, September 13, 2008
TIRTA DAN AKU
Aku masih memegang gagang telepon ke telingaku. Aku masih bisa dengar kata-kata Fifi yang berusaha menghiburku. Tapi aku nggak bisa bicara apa-apa lagi.
”Mel, maaf ya, kau harus nerima kabar buruk pagi-pagi begini. Aku benar-benar nyesal sudah memberitahumu, seharusnya tadi aku diam saja. Tapi aku nggak tahan. Aku nggak ingin kau yang belakangan tahu. Aku juga kesal sama dia. Sungguh.” kata Fifi dengan nada menyesal. Aku cuma bisa diam. ”Mel?” panggil Fifi sekali lagi. ”Kau nggak apa-apa, kan ?” nggak apa-apa bagaimana? Aku mau nangis saja rasanya. ”Mel, aku ke rumahmu, ya? Kau kujemput, ya? Kau ke kampus kan hari ini? Kau harus datang. Aku kan mau ngasih bahan tugas Agraria kita ke kau.” bujuknya.
”Aku nggak apa-apa, kok.” sahutku akhirnya dengan lemah. ”Entahlah, Fi, aku nggak janji bisa ke kampus hari ini. Aku nggak enak badan. Nanti malam saja kau antar ke rumahku, ya?” pintaku.
”Karena Tirta, ya?” tebak Fifi. Aku tertohok.
”Sudah dulu, ya, Fi. Komputerku hang lagi, nih.” ujarku berbohong. Telepon langsung kumatikan sebelum Fifi menjawab. Aku kembali ke komputerku dan menatap nanar layar monitor yang berisi tulisan tugas esay yang harus dikumpul besok sama Dosen Agrariaku. Tapi aku nggak bisa lagi berkonsentrasi. Semua pikiranku malah tercurah ke masalah tadi.
Hari ini sebenarnya aku kuliah siang, itu pun cuma satu sks saja. Sedangkan Fifi sudah nongol di kampus dari sejak jam tengah 8 tadi pagi.
Hari ini adalah hari ulang tahun Tirta yang ke-22. Hari ini spesial baginya, juga bagiku. Aku tadinya masih benar-benar merasa senang sampai Fifi menyampaikan kabar itu. Fifi bilang Tirta sudah nggak single lagi. Tepat hari ini, dia jadian sama seorang cewek entah siapa. Aku kaget dan masih nggak bisa percaya. Selama ini yang kutau Tirta nggak sedang dekat dengan seorang cewek pun selain aku. Atau, aku saja yang nggak pernah mengetahuinya? Jadi selama ini dia sedang melakukan pendekatan dengan seorang cewek pada saat dia sedang bersamaku. Tapi kami kan sahabat dekat, kenapa dia nggak pernah cerita?
Aku mendesah. Aku kira selama ini dia menyukaiku. Ternyata dia hanya berteman denganku. Aku menghela nafas kuat-kuat. Seharusnya aku tahu.
Aku terkenang saat pertama kali kami bertemu. Saat itu kami masih semester 2. Semuanya karena dosen Hukum Perdata memberi tugas mengambil contoh akta dari Pengadilan dan menganalisanya. Kami bertemu di Pengadilan Negeri Medan . Kami duduk di bangku-bangku yang panjang, saling melempar pandang, dan sedang sama-sama bingung kayak orang sakit amnesia. Di antara orang-orang yang hilir mudik di situ, hanya dia yang kukenal dan sepertinya dia juga begitu. Kemudian dia menghampiriku dan mengajakku bekerja sama untuk menjumpai bagian tata usaha. Kami malah janjian mengerjakan tugas itu bersama-sama. Akhirnya kami jadi sering bertemu secara rutin dan semakin akrab tiap harinya.
Tirta dan aku saling cocok satu sama lain. Dan sepertinya juga kami saling menyukai satu sama lain. Kami bahkan saling melengkapi satu sama lain. Dia suka bercanda dan aku suka tertawa. Aku suka berceloteh dan dia suka mendengarkan cerita. Aku suka tiba-tiba moody dan dia suka tiba-tiba heboh.
Aku terkenang saat-saat bersama Tirta. Pernah kemarin kami berdua pergi ke Merdeka Walk dan nongkrong di sana mulai dari sore sampai hampir tengah malam. Untung saja pada waktu itu nggak dirazia polisi. Hari itu sungguh menyenangkan sekali. Dia terus-menerus mendengarkan keluhanku dan nggak berhenti menghibur saat aku sedih gara-gara dapat nilai D pada mata kuliah Hukum Adat Pertama. Tirta selalu mendengarkan ceritaku dengan penuh perhatian dan selalu menatap lembut tiap kali aku berbicara. Dia benar-benar membuat aku merasa begitu istimewa.
Dadaku bergemuruh. Rasanya aku ingin menemui Tirta sekarang dan memakinya tepat di depan wajahnya. Aku rasa aku nggak akan rela dia pacaran sama cewek lain. Maksudku, buat apa selama ini dia memberi harapan padaku? Aku harus ke kampus sekarang. Aku harus tanya Fifi apa sebenarnya yang terjadi. Kumatikan komputer dan segera menuju kamar mandi.
Aku berdiri mematung di bawah pancuran shower. Rasanya seperti mimpi buruk saja. Aku ingin segera bangun.
Kenapa dia tidak memilihku? Apa yang salah di antara kami? Kukira semuanya berjalan dengan sempurna. Seharusnya aku lebih perhatian padanya. Seharusnya aku lebih terbuka padanya. Seharusnya tadi pagi aku pergi saja ke kampus dan menemuinya. Aku mengeluh. Rasanya aku mau nangis saja. Ini nggak adil!
Kurang perhatian apa aku ke dia? Jadi buat apa kemarin aku mau bela-belain mendengar keluhannya jam 2 dini hari hanya gara-gara tim sepak bola unggulannya kalah dalam pertandingan? Untuk apa aku pergi menemaninya seharian penuh keluar-masuk hampir seluruh toko buku yang ada di kota Medan ini (mulai dari Gramedia Gajah Mada, Gramedia Medan Mall, Gramedia Sun Plaza, Toko Buku Karsa Murni, sampai toko buku bekas di Jalan Salak dan Titi Gantung, belum lagi toko-toko buku yang aku nggak pernah tahu ternyata ada) hanya untuk mencari buku yang dia hanya ingat warna covernya saja? Untuk apa aku rela terlambat masuk kursus bahasa selama 30 menit gara-gara menonton dia tanding judo di dojo yang tempatnya jauh bukan main?
Aku benci Tirta. Aku sakit hati. Aku merasa seolah-olah dia merenggut jantungku dengan paksa dari dalam dadaku, menariknya keluar, melumatnya, dan meninggalkannya begitu saja. Ini sungguh menyakitkan.
Aku memarkirkan mobilku. Fifi sudah menunggu rupanya. Tumben.
”Kukira kau nggak jadi datang,” katanya sambil menyambutku keluar dari dalam mobil. ”Kau nggak apa-apa kan , Mel?” tanyanya cemas.
”Ya iya lah.” jawabku sambil tertawa maksa. Fifi menatapku dalam sambil menyipitkan matanya. ”Nggak ada yang perlu dikuatirkan.” tambahku cepat sambil berusaha tetap mempertahankan wajah ceria dengan senyum lebar di wajah yang lebih mirip seringai daripada senyuman. Fifi malah mengangkat satu alisnya dengan pandangan menyelidik. Aku segera menghindari tatapan matanya yang menyebalkan itu. ”Alright! Alright! Mana bahannya?” ujarku dengan nada bercanda. Fifi menghela nafas sambil mengeluarkan buku tebal dari dalam tasnya yang besar dan menyerahkannya padaku. Aku menerimanya dan memasukkannya ke dalam tasku. Lalu dia masih mengeluarkan sesuatu lagi dari dalam tasnya. Sebatang coklat. Dia memandangku sejenak sebelum akhirnya menyerahkan coklat itu. Aku menoleh pada Fifi dengan pandangan bertanya. Tumben.
”Untukmu. Biar kau jangan kesal lagi.” ujarnya tenang. Aku mendelik sebal padanya, tapi kuterima juga coklat itu. Lumayan. ”Dia di parkiran sekarang.”
”So?” tanyaku balik dengan nada sinis dan mimik wajah muak yang mengganggu.
Fifi memutar bola matanya. ”Bukannya kau mau ketemu sama dia?”
Aku tertohok. ”Nggak!” bantahku cepat. ”Aku kan ke sini mau ngambil bahan tugas Agraria kita. Aku nggak peduli sama dia. Biar dia sudah pacaran juga aku nggak ada masalah. Memangnya dia siapaku? Tetangga bukan, sepupu bukan, saudara bukan, teman bukan, pacar bukan...” tukasku marah karena hampir ketahuan.
”Yakin?” tantang Fifi tenang.
”Ya iya lah!” tangkisku cepat. ”Ngapain sih ngomongin dia lagi?!”
”Ya sudah, terserahmu saja.” ujar Fifi dengan mimik wajah tenang yang sungguh menyebalkan.
Aku berjalan sendirian di koridor kampus yang padat. Tadi jam 10 Fifi masuk kuliah. Janjinya kami akan makan siang sama. Jam kuliah pagi sudah selesai. Dia bilang supaya aku menunggunya di koridor, tapi yang ditunggu malah nggak kelihatan batang hidungnya dari tadi. Tiba-tiba aku melihat Tirta berjalan ke arahku. Entah kenapa aku nggak mau melihat wajahnya. Aku segera pergi dari tempat itu. Aku berjalan cepat-cepat agar dia nggak sempat mengejarku. Tapi tiba-tiba bahuku ditarik.
”Oyyy.” katanya sambil ngos-ngosan. Dia membalikkan badanku. ”Ngapain lari??” tanyanya. Aku diam saja sambil mendengus kesal. Tapi dia malah tertawa geli dan itu sungguh menjengkelkan. ”Lagi nungguin aku tadi, ya?” godanya sambil tersenyum jenaka. Benar-benar menyebalkan. Aku melengos pergi, meninggalkannya cekikikan sendirian. ”Euh? Mel?” tanyanya heran. ”Ada apa, sih? Nafasku bau, ya?” candanya sambil menghembuskan nafas kuat-kuat ke telapak tangannya dan mencoba menghirup uap yang keluar tadi. ”Segar, kok.” ujarnya sambil tersenyum geli sendiri. Aku memandangnya dengan tatapan muak.
”Nggak lucu.” ujarku ketus sambil meninggalkannya. Tirta masih juga mengikutiku. Mau apa sih dia? Ngapain ngekori aku dari tadi?
”Makan siang, yuk.” ajaknya. Belum lagi aku menjawab, dia sudah menarik tanganku dan menyeretku ke kantin kampus. Aku diam saja, membiarkannya membawaku ke sana .
Tirta memesankan makan siangku. Aku masih diam sambil menatapnya dengan gelisah. Aku ingin menanyakannya: bagaimana sebenarnya perasaannya padaku selama ini? Tapi logis nggak sih kalau aku yang nanya begitu padanya? Aku kan cewek.
”Kau mau ngomong apa?” tanyanya seolah mengetahui apa yang sedang kupikirkan. Tiba-tiba saja dia mengambil tanganku yang kuletak di atas meja dan meletakkannya di dalam genggamannya. Dia tersenyum dengan lembut sambil memandangku. ”Kalau ada masalah, ngomong saja. Mungkin aku bisa bantu.” katanya.
Aku masih membisu. Terpana sesaat. Menyadari status Tirta sekarang ini, aku menarik tanganku dari genggamannya dan meletakkannya di atas pangkuanku. Pesanan kami datang. Tirta segera menyantap makan siangnya. Tapi aku bahkan nggak menyentuh makananku sedikitpun. Tirta memandangiku dengan tatapan bingung.
”Kok diam saja? Sakit perut, ya?” tanyanya. Tiba-tiba dia terbelalak dengan mimik lucu. ”Jangan-jangan kau belum gosok gigi, ya?”
Perutku jadi sakit beneran gara-gara mikirin masalah ini. Ditambah lagi tingkah Tirta yang seolah-olah nggak ada apa-apa. Aku putuskan, aku akan katakan padanya. Aku nggak peduli dia mau marah, kecewa, atau bahkan nggak memberi respon sedikitpun. Aku membulatkan tekadku dan mengumpulkan keberanian.
”Tir, aku...” kataku memulai dengan suara sedikit bergetar. Dia mendengarkan dengan penuh perhatian. Aku menelan ludah. ”Mungkin aku terlalu berani mengatakan ini padamu. Kau nggak perlu membalasnya. Bagiku sudah cukup kalau kau sudah tahu.”
Tirta berhenti makan. Perhatiannya kini benar-benar terfokus padaku. Aku menarik nafas panjang dan terdiam sesaat. Kenapa lidah ini jadi kelu, ya? Aku meremas-remas jariku dan nggak berani memandang Tirta lagi.
”Apa?” tanyanya. Keberanianku tiba-tiba menguap. Kakiku jadi bergetar. Rasanya ingin lari saja dari sini. ”Kau mau ngomong apa?” tanyanya sabar. Aku diam saja, menunduk makin dalam.
”Lupakan saja. Nggak penting, kok.” ujarku sambil cengengesan nggak jelas. Tirta mengernyit. Dia memandangku lurus-lurus. ”Lanjutin saja makannya.” kataku sambil nyengir kayak kuda. Benar-benar kacau. Aku jadi salah tingkah.
”Jadi kepikiran.” ujar Tirta merengut. Aku diam saja dan pura-pura makan dengan penuh konsentrasi. Tiba-tiba Tirta menarik piringku. Aku kaget.
”Aku lagi makan.” kataku kecewa.
”Nanti bisa kau lanjutkan lagi.” katanya acuh. Kenapa dia? Aku meletakkan sendokku dan menghela nafas. ”Setelah kau bilang apa yang mau kau katakan tadi.” lanjutnya santai. Deg. Aku terhenyak.
Lama kami membisu. Dia tetap memandangku dengan pandangan bertanya. Dilihat dari gayanya, kayaknya dia punya banyak waktu luang untuk menungguku mengatakannya. Aku menghela nafas. Sudah terlanjur. ”Iya, iya.” ujarku akhirnya.
Tirta mencondongkan badannya dan menyipitkan matanya. Kenapa dia tiba-tiba berubah serius seperti itu? Sungguh mendebarkan. Aku menghela nafas lagi.
”Seperti yang kubilang tadi, aku hanya ingin kau tahu. Kau nggak perlu membalasnya. Aku sadar, statusmu sudah berbeda sekarang. Tapi aku berharap kita masih bisa jadi teman. Maksudku, tentu saja nggak sedekat dulu lagi. Karena kau kan sudah nggak kayak dulu lagi. Maksudku, kita nggak bisa seperti dulu lagi. Maksudku, tetap bisa seperti dulu, tapi nggak seperti dulu. Maksudku....” aku terdiam, bingung sendiri dengan kata-kataku barusan. Sebenarnya aku mau ngomong apa sih barusan?
”Intinya saja.” kata Tirta sabar. Aku menunduk dalam-dalam. Ya sudahlah, sudah kepalang tanggung. Aku menghela nafas.
”Aku suka padamu.” kataku lirih setengah berbisik. Sepi. Aku memejamkan mata, berharap tiba-tiba menghilang dari situ. Rasanya ingin mengubur kepalaku dalam-dalam. Kenapa dia nggak mengatakan sesuatu? Aduh, aku jadi mual. Tiba-tiba daguku disentuh dan perlahan diangkat olehnya. Aku membuka mata takut-takut. Dan apa yang kulihat di hadapanku? Anak laki-laki yang sedang tersenyum geli dengan mimik wajah jenaka yang menjengkelkan. Sebelum aku mengatakan sesuatu dia sudah mendahuluiku.
”Aku juga.” ujarnya. Aku terhenyak. Lalu mengorek-korek kupingku dengan jari. Mungkin saja aku salah dengar. ”Jadi pacarku ya, Mel?” pintanya dengan senyum manis yang aku nggak pernah tahu ternyata dia punya. Aku terbengong.
”Pacarmu mau kau kemanain?” tanyaku akhirnya dengan heran. Dia malah tertawa ngakak.
”Pacar yang mana?” tanyanya kocak. Aku mengernyit.
”Lihat ke sini, Mel.” ujar Fifi tiba-tiba yang ternyata ada di situ dari tadi sambil merekam kami pakai handycam segala. ”Senyum, Mel.” ujarnya lagi. Aku benar-benar terperangah.
”Apa-apaan ini? Kalian mempermainkanku, ya?” tanyaku gusar. Fifi tertawa geli. Ini sungguh memalukan. Aku berjalan cepat-cepat meninggalkan tempat itu dan menuju mobilku di parkiran, nggak kepikiran lagi sama kuliahku yang akan mulai setengah jam lagi. Tak kugubris lagi Tirta yang mengejarku sambil berteriak-teriak memanggilku.
Malam itu aku duduk sendiri di kamarku. Merenung. Kecewa. Kesal. Benci. Sedih. Emosi.
Kuraih coklat dari Fifi tadi pagi. Kuharap dengan memakannya bisa menghilangkan kekesalanku. Tiba-tiba Hpku berbunyi. Private number. Siapa lagi ini?!
”Halo.” jawabku ketus.
”Kau belum jawab pertanyaanku tadi.” katanya. Huh, Tirta. Licik juga siasatnya. Aku diam saja.
”Mel? Ini kau, kan ?” tanyanya ragu.
”Bukan, mamanya.” tukasku kesal.
”Eh, sori ya, tan. Imelnya ada, tan?” candanya.
”Nggak ada.” masih bisa juga dia bercanda. Keterlaluan.
”Aku serius, Mel.” katanya dengan nada lebih daripada serius. Aku masih diam. Dia menghela nafas. ”Aku menyesal. Maafkan aku. Aku memang keterlaluan. Tapi aku serius suka padamu. Aku serius dengan pertanyaanku tadi.” jelasnya. ”Mungkin caranya salah, ya?” tanyanya.
”Norak.” jawabku ketus. Tirta malah tertawa renyah.
”Ya iya lah harus norak. Namanya juga mau diabadikan. Biar kelak aku tunjukin sama anak cucuku.” candanya. Aku jadi tertawa geli dibuatnya. ”Jadi mau nggak?” tanyanya lagi.
”Apanya?” aku pura-pura nggak ngerti.
”Ya itu.”
”Itu apa?” candaku.
”Mel.” dia mendesak. Aku tertawa renyah mendengar suaranya yang merajuk.
”Mau apa, sih?” candaku lagi. ”Mau kue? Mau baju baru?” candaku. Tirta terdiam sejenak. Lalu aku mendengarnya menghela nafas.
”Pacaran denganku.” katanya lirih. Aku tersenyum geli. Tetap diam. Membiarkannya menerka-nerka. ”Mel??” panggilnya.
”Kau kan sudah tahu apa jawabku.” kataku akhirnya.
”Makasih, ya, Mel.” ujarnya lembut.
”Sama-sama.” dan kami berdua tertawa ngakak bersama. ”Kapan kita makan-makannya?” tanyaku.
”Ulang tahunku sudah mau lewat 4 jam lagi.” ujarnya.
Aku tiba-tiba teringat belum mengucapkan selama ulang tahun padanya. ”Happy birthday, ya, Tir. Kadonya sudah terima, kan ? Gimana, suka nggak?”
”Kado yang mana?” tanyanya heran.
”Yang barusan ini lah.” ujarku terkikik.
”Oh, ya, ya. Makasih, ya. Suka sekali. Apalagi kalau besok pagi kau mau keluar denganku.”
Hah? Kencan pagi hari?
”Mau kemana kita?” tanyaku dengan perasaan meluap-luap.
”Ke pengadilan.” ujarnya. Aku teringat saat pertama kali bertemu dengannya dulu. Mungkin dia mau mengajakku kencan di tempat pertama kali kami bertemu. ”Aku mau ngambil putusan pidana untuk skripsiku.” lanjutnya kalem.
Gedubrakkk!!! Dasar Tirta. Dia memang kadang menyebalkan. Tapi aku sayang padanya.
Selesai.
26 Januari 2006
Revisi, 5 Agustus 2008.
ASTÉR KOMÉTÉS
Dia selalu diam dengan tatapan mata yang dalam dan posisi tubuh yang tegak kaku. Sikapnya begitu dingin dengan air wajah yang keras dan tegas. Siapa menyangka dia begitu rapuh dibalik sikapnya yang beku seperti batu? Kerap kali pipinya basah oleh air mata. Adakah orang yang bisa membaca pikirannya saat dia terdiam menatap jauh ke depan tanpa tujuan? Aku juga tidak, meskipun aku tinggal serumah bersamanya, tapi sering kali juga aku merasa dia tidak benar-benar menyadari aku ada di sana bersamanya.
Aku disuruh Namboru untuk mengajaknya makan malam bersama. Aku yakin, Bintang lebih suka makan tidak bersama kami, tapi Namboru selalu menyuruhku mengajaknya.
“Bintang, makan malam siap.” Ajakku sambil melongok dari pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Dia sedang berdiri di samping jendela besar. Bintang tidak bergeming, pandangannya jauh menembus langit. Sepertinya dia tidak mendengar suaraku.
“Bintang…” aku memanggilnya dengan suara agak tinggi.
Dia lalu berjalan menjauhi jendela dan pergi melewatiku menuju ruang makan, meninggalkan kesan dingin. Seperti biasa. Seperti inikah dirinya yang sebenarnya? Kadang-kadang aku merasa seperti tidak bernyawa jika bersamanya.
Angin sore bertiup lembut mengembus rambut panjangnya hingga berkibar sebentar dan kembali terurai lembut di kening, bahu dan punggungnya. Dia sebenarnya seorang gadis yang manis dan menarik. Tapi mata itu, siapa yang tahan dipandang dengan mata yang dingin seperti itu? Pernahkah kamu melihat sebuah portrait dengan latar belakang warna jingga yang cerah indah dengan objek seorang gadis cantik yang murung? Benar-benar tak serasi.
Bintang, apa yang sedang kamu pikirkan? Mengapa kamu begitu tertutup dan menarik diri dari dunia sekitarmu? Tidakkah kamu merasa letih bersikap keras seperti itu? Menyadari aku memandangnya, dia segera masuk ke dalam rumah. Aku yakin, dia lebih suka tidak melihatku.
Dia menempelkan keningnya ke jendela kaca, matanya mengawasi air hujan yang perlahan turun di kaca jendela mobil dan jari telunjuknya mengikuti arah jatuhnya air hujan itu. Bibirnya terkatup rapat. Dirinya begitu sunyi. Pandangan matanya teramat sepi. Hanya air hujan yang menarik perhatiannya. Tangannya memegang seikat bunga mawar dengan erat.
“Hujannya cukup deras. Kamu yakin mau ke kuburan hari ini?” tanyaku memastikannya.
Bintang diam. Sepertinya suaraku mengusik lamunannya. Aku bisa lihat pantulan wajahnya dari kaca jendela di sampingnya. Matanya tidak lagi mengawasi air hujan.
“Di sana pasti becek.” aku memperingatkannya. Tapi Bintang diam saja.
Kami sampai di pekuburan. Dia segera keluar dari mobil tanpa menghiraukan payung yang kutawarkan padanya dan berjalan cepat-cepat ke sebuah kuburan besar dan mewah yang dilapisi batu granit warna hitam mengilat dan dikelilingi bunga bakung. Aku mengikutinya dari belakang sambil memayungi diriku sendiri. Bintang bersimpuh di samping sebuah pusara berbentuk persegi panjang berlapis batu granit hitam. Setelah terdiam memandang sejenak perlahan dia menempelkan telinganya ke atas kuburan seolah ingin mendengar sesuatu dari dalam sana. Ditutupnya matanya dengan sabar. Lalu dia meletakkan bunga mawar tadi di dalam vas bunga kristal yang memang telah tersedia di atas pusara.
“Sebaiknya kita pulang sekarang.” Ujarku sambil memayunginya. Dia tidak menghiraukanku. Angin kencang benar-benar membuatku menggigil dan sesak nafas. “Bintang…” panggilku. Bintang menatapku dengan pandangan matanya yang dalam dan dingin. Dia membuatku semakin menggigil. “Besok kalau cuacanya bagus, kita ke sini lagi.” Janjiku sambil pergi menuju mobil. Dia mengerang sambil beranjak dari kuburan dan pergi mengekoriku.
Bintang duduk di teras rumah sambil mengenakan baju tidur. Padahal malam sudah semakin larut dan angin dingin berembus sangat kencang.
Aku memandangnya sejenak sembari duduk di sampingnya. Lamunannya membawanya jauh dari kenyataan. Seperti biasa. Jadi aku membiarkannya saja. Aku memang tidak terlalu mengenalnya. Sejak ayahku menikahi ibunya 5 tahun yang lalu, kami tidak pernah secara khusus bertemu dan mengobrol layaknya saudara tiri. Kami tidak pernah tinggal dalam satu rumah yang sama.
Dia anak tunggal dan aku anak semata wayang. Usia kami juga sepantaran. Tapi kami tak pernah mengharapkan keberadaan satu sama lain. Aku bahkan tidak pernah menyetujui ayahku menikah lagi dengan wanita lain walaupun dia dan ibu sudah cerai 7 tahun yang lalu hanya gara-gara keegoisan masing-masing. Sepertinya Bintang juga merasakan hal yang sama. Kami saling tidak menyukai satu sama lain. Apalagi, ayahku yang seharusnya menjadi ayah tirinya juga sudah meninggal 5 bulan yang lalu karena serangan jantung dadakan. Ayah memang perokok berat. Ibu sudah sering menasehatinya tapi dia tidak mau mendengarkan. Jadi, tidak ada lagi penghubung antara aku dan gadis ini. Aku pernah mengharapkan supaya dia tinggal saja dengan keluarga dari ayahnya atau ibunya dari pada tinggal bersama kami. Tapi Namboruku memaksa. Ibuku sudah mempunyai keluarga baru setelah menikah dengan Om Farhan dan sudah dikaruniai 3 orang anak. Mungkin ibu tidak enak jika aku harus tinggal dengan keluarga barunya jadi dia menyetujui saat Namboruku mengajakku tinggal bersamanya. Entah bagaimana ceritanya, Namboru yang mengetahui bahwa Bintang sudah yatim piatu, tiba-tiba mengajak Bintang tinggal di sini bersamanya dan keluarga Bintang pun ntah bagaimana bisa menyetujui keputusan itu. Aku masih tidak bisa mengerti keputusan Namboru untuk mengasuh Bintang juga. Namboruku ini tidak menikah, usianya 55 dan baru saja pensiun namun dia paling semangat untuk mengurus anak orang. Ibu Bintang sudah meninggal setahun yang lalu karena kanker rahim. Bintang sekarang yatim piatu, tapi apa bedanya dari aku? Meskipun aku masih punya Ibu tapi rasanya seperti sudah tidak punya lagi. Ayah Bintang telah meninggal jauh sebelum ibunya mengenal ayahku. Kabarnya beliau meninggal dalam mengemban tugas kenegaraan.
Pertama kali dia menginjakkan kaki di rumah ini, aku sudah merasa tidak senang. Gadis ini membuat perasaan tidak tenang. Mungkin karena pandangan matanya yang dalam dan tajam. Mungkin karena wajahnya yang selalu murung. Mungkin karena pikirannya yang selalu melayang entah kemana. Mungkin karena suaranya yang dingin dan datar. Pokoknya dia terkesan menyeramkan. Jika saja perasaan selalu diwakilkan dengan awan, dia pasti sudah diselimuti awan kelabu dengan petir yang selalu memekakkan telinga dan hujan deras membasahinya.
“Kemana perginya orang yang telah meninggal?” tanya Bintang tiba-tiba dengan suara datar. Suaranya membuyarkan lamunanku. Dia memandangku dengan tatapan matanya yang dingin tak beremosi.
“Entahlah, surga atau neraka mungkin.” Jawabku sekenanya.
“Sebelum ke sana?” tanyanya lagi sambil kembali memandang langit.
“Entahlah, mana kutau. Aku belum pernah mati.” Aku juga ikut memandang langit.
“Kira-kira, mereka ada di sana nggak, ya?” bisik Bintang. Aku tidak yakin dia bertanya padaku atau pada dirinya sendiri.
“Mungkin.” Jawabku.
“Mereka bisa lihat kita nggak, ya?”
“Entahlah."
“Mereka masih kenal kita nggak, ya?” tanyanya dengan suara tercekat “Bagaimana kalau kita rindu sama mereka?” tanyanya lagi. Aku terdiam. Tiba-tiba aku memikirkan ayahku. Sebenarnya dia pria yang baik dan penyayang. Dia sangat melindungi. Ayah memang sedikit keras, tapi hatinya selalu lembut. Tawanya bisa menghangatkan suasana. Dia tidak pernah menganggapku anak perempuan manja yang tidak bisa apa-apa. Dalam mengambil keputusan tentang apapun itu, dia selalu menganggapku wanita dewasa yang bisa didengarkan pendapatnya meskipun tidak harus selalu diterima. Tak ada lagi ayah yang selalu menemaniku latihan berenang atau bermain tennis di lapangan perumahan. Tak ada lagi tawa renyah dan lelucon segar setiap makan malam. Tiba-tiba saja aku diliputi kerinduan pada pria bijaksana itu.
“Entahlah.” Ujarku lirih. Bintang menoleh padaku.
“Kamu rindu pada ayahmu?” tanyanya lagi dengan tatapan mata bundar dan wajah penuh ingin tahu. Aku diam saja. Dia tidak mendesak jawabanku. Dia hanya kembali memandang langit. Aku menghela nafas dan meninggalkannya sendirian.
“Bintang, makan malam siap.” Ajakku sambil melongok dari pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Dia sedang berdiri di samping jendela besar. Bintang tidak bergeming, pandangannya jauh menembus langit. Sepertinya dia tidak mendengar suaraku.
“Bintang…” aku memanggilnya dengan suara agak tinggi.
Dia lalu berjalan menjauhi jendela dan pergi melewatiku menuju ruang makan, meninggalkan kesan dingin. Seperti biasa. Seperti inikah dirinya yang sebenarnya? Kadang-kadang aku merasa seperti tidak bernyawa jika bersamanya.
Angin sore bertiup lembut mengembus rambut panjangnya hingga berkibar sebentar dan kembali terurai lembut di kening, bahu dan punggungnya. Dia sebenarnya seorang gadis yang manis dan menarik. Tapi mata itu, siapa yang tahan dipandang dengan mata yang dingin seperti itu? Pernahkah kamu melihat sebuah portrait dengan latar belakang warna jingga yang cerah indah dengan objek seorang gadis cantik yang murung? Benar-benar tak serasi.
Bintang, apa yang sedang kamu pikirkan? Mengapa kamu begitu tertutup dan menarik diri dari dunia sekitarmu? Tidakkah kamu merasa letih bersikap keras seperti itu? Menyadari aku memandangnya, dia segera masuk ke dalam rumah. Aku yakin, dia lebih suka tidak melihatku.
Dia menempelkan keningnya ke jendela kaca, matanya mengawasi air hujan yang perlahan turun di kaca jendela mobil dan jari telunjuknya mengikuti arah jatuhnya air hujan itu. Bibirnya terkatup rapat. Dirinya begitu sunyi. Pandangan matanya teramat sepi. Hanya air hujan yang menarik perhatiannya. Tangannya memegang seikat bunga mawar dengan erat.
“Hujannya cukup deras. Kamu yakin mau ke kuburan hari ini?” tanyaku memastikannya.
Bintang diam. Sepertinya suaraku mengusik lamunannya. Aku bisa lihat pantulan wajahnya dari kaca jendela di sampingnya. Matanya tidak lagi mengawasi air hujan.
“Di sana pasti becek.” aku memperingatkannya. Tapi Bintang diam saja.
Kami sampai di pekuburan. Dia segera keluar dari mobil tanpa menghiraukan payung yang kutawarkan padanya dan berjalan cepat-cepat ke sebuah kuburan besar dan mewah yang dilapisi batu granit warna hitam mengilat dan dikelilingi bunga bakung. Aku mengikutinya dari belakang sambil memayungi diriku sendiri. Bintang bersimpuh di samping sebuah pusara berbentuk persegi panjang berlapis batu granit hitam. Setelah terdiam memandang sejenak perlahan dia menempelkan telinganya ke atas kuburan seolah ingin mendengar sesuatu dari dalam sana. Ditutupnya matanya dengan sabar. Lalu dia meletakkan bunga mawar tadi di dalam vas bunga kristal yang memang telah tersedia di atas pusara.
“Sebaiknya kita pulang sekarang.” Ujarku sambil memayunginya. Dia tidak menghiraukanku. Angin kencang benar-benar membuatku menggigil dan sesak nafas. “Bintang…” panggilku. Bintang menatapku dengan pandangan matanya yang dalam dan dingin. Dia membuatku semakin menggigil. “Besok kalau cuacanya bagus, kita ke sini lagi.” Janjiku sambil pergi menuju mobil. Dia mengerang sambil beranjak dari kuburan dan pergi mengekoriku.
Bintang duduk di teras rumah sambil mengenakan baju tidur. Padahal malam sudah semakin larut dan angin dingin berembus sangat kencang.
Aku memandangnya sejenak sembari duduk di sampingnya. Lamunannya membawanya jauh dari kenyataan. Seperti biasa. Jadi aku membiarkannya saja. Aku memang tidak terlalu mengenalnya. Sejak ayahku menikahi ibunya 5 tahun yang lalu, kami tidak pernah secara khusus bertemu dan mengobrol layaknya saudara tiri. Kami tidak pernah tinggal dalam satu rumah yang sama.
Dia anak tunggal dan aku anak semata wayang. Usia kami juga sepantaran. Tapi kami tak pernah mengharapkan keberadaan satu sama lain. Aku bahkan tidak pernah menyetujui ayahku menikah lagi dengan wanita lain walaupun dia dan ibu sudah cerai 7 tahun yang lalu hanya gara-gara keegoisan masing-masing. Sepertinya Bintang juga merasakan hal yang sama. Kami saling tidak menyukai satu sama lain. Apalagi, ayahku yang seharusnya menjadi ayah tirinya juga sudah meninggal 5 bulan yang lalu karena serangan jantung dadakan. Ayah memang perokok berat. Ibu sudah sering menasehatinya tapi dia tidak mau mendengarkan. Jadi, tidak ada lagi penghubung antara aku dan gadis ini. Aku pernah mengharapkan supaya dia tinggal saja dengan keluarga dari ayahnya atau ibunya dari pada tinggal bersama kami. Tapi Namboruku memaksa. Ibuku sudah mempunyai keluarga baru setelah menikah dengan Om Farhan dan sudah dikaruniai 3 orang anak. Mungkin ibu tidak enak jika aku harus tinggal dengan keluarga barunya jadi dia menyetujui saat Namboruku mengajakku tinggal bersamanya. Entah bagaimana ceritanya, Namboru yang mengetahui bahwa Bintang sudah yatim piatu, tiba-tiba mengajak Bintang tinggal di sini bersamanya dan keluarga Bintang pun ntah bagaimana bisa menyetujui keputusan itu. Aku masih tidak bisa mengerti keputusan Namboru untuk mengasuh Bintang juga. Namboruku ini tidak menikah, usianya 55 dan baru saja pensiun namun dia paling semangat untuk mengurus anak orang. Ibu Bintang sudah meninggal setahun yang lalu karena kanker rahim. Bintang sekarang yatim piatu, tapi apa bedanya dari aku? Meskipun aku masih punya Ibu tapi rasanya seperti sudah tidak punya lagi. Ayah Bintang telah meninggal jauh sebelum ibunya mengenal ayahku. Kabarnya beliau meninggal dalam mengemban tugas kenegaraan.
Pertama kali dia menginjakkan kaki di rumah ini, aku sudah merasa tidak senang. Gadis ini membuat perasaan tidak tenang. Mungkin karena pandangan matanya yang dalam dan tajam. Mungkin karena wajahnya yang selalu murung. Mungkin karena pikirannya yang selalu melayang entah kemana. Mungkin karena suaranya yang dingin dan datar. Pokoknya dia terkesan menyeramkan. Jika saja perasaan selalu diwakilkan dengan awan, dia pasti sudah diselimuti awan kelabu dengan petir yang selalu memekakkan telinga dan hujan deras membasahinya.
“Kemana perginya orang yang telah meninggal?” tanya Bintang tiba-tiba dengan suara datar. Suaranya membuyarkan lamunanku. Dia memandangku dengan tatapan matanya yang dingin tak beremosi.
“Entahlah, surga atau neraka mungkin.” Jawabku sekenanya.
“Sebelum ke sana?” tanyanya lagi sambil kembali memandang langit.
“Entahlah, mana kutau. Aku belum pernah mati.” Aku juga ikut memandang langit.
“Kira-kira, mereka ada di sana nggak, ya?” bisik Bintang. Aku tidak yakin dia bertanya padaku atau pada dirinya sendiri.
“Mungkin.” Jawabku.
“Mereka bisa lihat kita nggak, ya?”
“Entahlah."
“Mereka masih kenal kita nggak, ya?” tanyanya dengan suara tercekat “Bagaimana kalau kita rindu sama mereka?” tanyanya lagi. Aku terdiam. Tiba-tiba aku memikirkan ayahku. Sebenarnya dia pria yang baik dan penyayang. Dia sangat melindungi. Ayah memang sedikit keras, tapi hatinya selalu lembut. Tawanya bisa menghangatkan suasana. Dia tidak pernah menganggapku anak perempuan manja yang tidak bisa apa-apa. Dalam mengambil keputusan tentang apapun itu, dia selalu menganggapku wanita dewasa yang bisa didengarkan pendapatnya meskipun tidak harus selalu diterima. Tak ada lagi ayah yang selalu menemaniku latihan berenang atau bermain tennis di lapangan perumahan. Tak ada lagi tawa renyah dan lelucon segar setiap makan malam. Tiba-tiba saja aku diliputi kerinduan pada pria bijaksana itu.
“Entahlah.” Ujarku lirih. Bintang menoleh padaku.
“Kamu rindu pada ayahmu?” tanyanya lagi dengan tatapan mata bundar dan wajah penuh ingin tahu. Aku diam saja. Dia tidak mendesak jawabanku. Dia hanya kembali memandang langit. Aku menghela nafas dan meninggalkannya sendirian.
Malam itu aku tak bisa tidur. Pertanyaan-pertanyaan Bintang tadi mengusir rasa kantukku. Kuputuskan untuk meminum segelas susu hangat. Aku pergi ke dapur. Kulihat lampu dapur menyala. Siapa tengah malam begini masih berada di dapur? Ketika aku masuk, aku melihat Bintang duduk di sana. Aku membuat segelas susu hangat sambil mengawasinya.
"Ngapain sendirian di sini?" tanyaku penasaran. Dia menoleh padaku. Matanya sembab sehabis menangis.
"Rasanya aku tidak punya semangat lagi untuk menjalani hari esok." Katanya.
Aku duduk di seberangnya sambil memegang gelas susuku. "Kenapa?" tanyaku.
"Semua orang pergi meninggalkan aku. Semua orang tidak menginginkan aku." jawabnya dengan suara pelan. "Apa aku sebaiknya mati aja?" tanyanya dengan mata berkaca-kaca.
"Tidak semua orang." jawabku.
Perlahan dia mengeluarkan sebotol pil-pil kecil berwarna putih dari sakunya.
"Untuk apa itu?" tanyaku sambil menyeruput susu hangatku.
"Katanya kalo makan ini banyak-banyak bisa mati." jawabnya.
"Itu pil tidur. Seberapa banyakpun yang kau telan, kau nggak akan mati, hanya tidur selamanya." ujarku.
"Nggak apa-apa." jawabnya pasrah.
"Kau bercanda? Itu lebih parah daripada mati. Kau bisa terjebak dalam mimpi buruk selamanya."
Bintang terdiam. Lalu dia bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah rak piring. Bintang mencabut sebilah pisau dapur dari tempatnya dan membawanya ke dekatku.
"Kau mau apa dengan itu?" tanyaku cemas. Aku takut dia akan melukaiku.
"Mungkin ini bisa bikin mati. Kau bisa membantuku?" tanyanya. Aku tertegun. Bintang pasti sudah gila.
"Aku nggak mau. Nanti tanganku kotor." jawabku sambil menelan ludah.
"Oh, baiklah." ujarnya lalu meletakkan pisau di atas kulit pergelangan tangannya. "Runi, ada pesan untuk ayahmu? Siapa tahu aku akan bertemu dengannya nanti." katanya lirih.
"Oh, ya, tentu saja. Tunggu." lalu aku berpikir-pikir kata-kata apa yang akan kubilang pada ayah nanti. Aku menutup mata dan membayangkan sosok ayah di dalam kepalaku, aku membayangkan masa-masa yang kulalui dengan pria yang pernah menjadi suami ibuku itu. Aku juga membayangkan masa-masa sulit yang aku dan mama lalui. Aku membayangkan masa-masa berat, masa-masa penuh rasa bersalah, masa-masa penuh amarah, masa-masa kesepian luar biasa. Lalu aku membuka mata dan menatap Bintang yang ada di hadapanku. Tidakkah aku sama sepertinya? Dia juga merasakan amarah, kecewa, sedih, dan sepi.
Kuraih tangannya dan kubawa dia ke cermin di ruang tamu. Bintang terlihat heran. Dia mengamati wajahnya dengan bingung. Lalu ketika dia melihat pantulan wajahku di cermin, Bintang tertegun. Selama beberapa saat kami terdiam saling memandang. Aku tahu bahwa dia menyadari apa yang kusadari. Dia melihat dirinya sendiri di dalam diriku.
"Jika kau pergi, aku akan selamanya sendiri." ujarku lirih.
"Jika kau pergi, aku akan selamanya sendiri." ujarku lirih.
"Kau tidak membutuhkanku." ujarnya tak kalah lirih.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu dan langsung membawanya keluar rumah.
Kami memandang ke atas langit gelap bersama. Bintang terlihat bingung tapi tetap memandang jauh menembus awan, entah kemana pikirannya membawanya pergi.
Aku menatap langit malam dengan sabar. Tidak lama kami melihat cahaya berjatuhan dari langit seperti hujan bintang. Indah sekali.
“Hujan meteor Geminid. Hanya terlihat setiap awal bulan Desember.” ujarku sambil menunjuk ke arah langit. Meskipun sebenarnya meteor itu bukan bintang, tapi dia disebut juga bintang jatuh. Meteor itu cahaya yang terlihat sewaktu sebuah meteorid jatuh dan terbakar di atmosfer bumi. Meteorid itu batu-batu kecil di ruang angkasa yang ditinggalkan komet atau asteroid yang melintas.” jelasku.
“Ohh.” gumam Bintang takjub.
“Hujan meteor Geminid. Hanya terlihat setiap awal bulan Desember.” ujarku sambil menunjuk ke arah langit. Meskipun sebenarnya meteor itu bukan bintang, tapi dia disebut juga bintang jatuh. Meteor itu cahaya yang terlihat sewaktu sebuah meteorid jatuh dan terbakar di atmosfer bumi. Meteorid itu batu-batu kecil di ruang angkasa yang ditinggalkan komet atau asteroid yang melintas.” jelasku.
“Ohh.” gumam Bintang takjub.
“Astér Kométés.” Gumamku beberapa saat kemudian. “Nama komet berasal dari bahasa Yunani, astér kométés, yang artinya bintang berambut panjang.” ujarku lagi.
Bintang masih diam sambil memandang langit. "Astér Kométés hanya terlihat sekejap, tapi cahayanya terang benderang bersinar dengan indahnya di gelapnya langit malam." sambungku. Bintang tertegun.
"Tetaplah di sini untuk menemaniku." kataku tanpa mengalihkan pandangan dari langit. Bintang menoleh padaku. "Tinggallah lebih lama daripada cahaya astér kométés." pintaku sambil menoleh padanya. Bintang meneteskan air mata. Perlahan dia memelukku. Aku merasakan detak jantungnya dan tahu bahwa dia masih ingin hidup.
À Bien Tôt
Segerombolan anak laki-laki berjumlah 7 orang asyik duduk-duduk di tanah lapang sambil bercerita. Salah seorang dari mereka memegang bola kaki. Mereka semua baru saja istirahat setelah lelah bermain bola. Kaus yang mereka pakai basah oleh keringat dan kotor oleh tanah. Wajah mereka kelihatan lelah dan bersemangat. Mereka semua duduk sambil minum air putih kemasan botol yang memang sudah dibawa masing-masing dari rumah.
“Thierry, kau jadi pindah ke kota besar lusa besok?” Tanya Hans.
“Kau akan sering datang ke sini?” Tanya Theo. Thierry menatap sahabat kentalnya itu lekat-lekat. Memang mereka ber-7 bersahabat dekat, tapi Theo adalah sahabatnya yang paling dekat karena mereka sudah bersahabat sejak duduk di bangku TK sampai mau masuk kelas 3 SMP sekarang.
“Oh la la, pasti Theo sudah cemas duluan. Don’t worry friend, kita akan jaga sobatmu ini.” Canda Dimitri pada Thierry sambil mengakak disambut tawa teman-teman lainnya.
“Non.[ii]” balas Theo sambil ikutan tertawa. Thierry diam. Sebenarnya dia mengharapkan Theo mengatakan “Oui[iii]” bukan “Non”.
“Hei, ayo kita selesaikan permainannya,” ajak Dion.
“Allons-nous.[iv]” sorak anak-anak itu dan berlari ke tengah lapangan untuk melanjutkan permainan sepak bola.
“Thierry, ini mungkin permainan sepak bola terakhirmu dengan kami di sini.” ujar Simon.
“Buat gol, bung!” teriak Raphael dari gawang. Dia mengacungkan jempolnya pada Thierry. Thierry tertawa dan balas mengacungkan jempolnya. Simon mengoper bola padanya. Hans bertindak sebagai wasit. Dia berlari ke arah Thierry. Thierry menggiring bola menuju gawang lawan. Sebelum menggolkan bola, dia memandang wajah teman-temannya satu-persatu. Mereka semua memberi peluang padanya untuk mencetak gol.
“Mudah saja.” Pikirnya. Dilihatnya Theo yang jadi keeper di gawang lawan. Thierry tersenyum. Theo tidak pernah berhasil menangkap bola Thierry. Mata Theo menyipit, berusaha tetap focus.
“C’est facile.[v]” batin Thierry. Tapi dia kemudian berubah pikiran. Ini mungkin permainan terakhirnya dengan Theo. Mungkin mereka tidak akan pernah berjumpa lagi dan bermain bola bersama lagi. Mungkin hanya ini kesempatan bagi Theo untuk berhasil menangkap bola Thierry. “Kenapa tidak.” Pikirnya lagi sambil mengangkat satu alisnya. Lalu dia menendang bolanya pelan seperti dalam gerakan slow motion. Tentu saja Theo berhasil menangkapnya. Raphael dan Simon yang satu tim dengan Thierry kecewa. Sedang Dion dan Dimitri yang satu tim dengan Theo terlihat heran.
“Thierry, seharusnya ini mudah. Lagipula hanya Theo, apa susahnya menggolkan bola?” Tanya Simon kecewa. Theo yang mendengarnya merasa tersinggung. Tapi dia diam saja.
“C’est vrai[vi], kulihat tadi tendanganmu seperti sengaja dibuat lambat. Kau kenapa sih?” Tanya Raphael. Theo menatap Thierry tapi Thierry pura-pura tidak melihat. Lalu Theo mengambil tas ranselnya dan mengayuh sepedanya pulang.
Thierry terduduk lesu. Keringatnya berjatuhan. Teman-temannya ikut duduk di sampingnya. Lama mereka terdiam.
“Kau tadi nggak bermaksud memberi Theo hadiah perpisahan, kan ?” Tanya Dimitri ragu-ragu. Thierry menatapnya penuh arti. Semuanya langsung bergumam menyesal.
Simon menepuk kepalanya sendiri. “Pasti perkataanku tadi benar-benar membuat dia tersinggung.” Katanya merasa bersalah.
“Sudahlah.” Ujar Thierry lesu. Lalu mereka bersepeda pulang.
Keesokan paginya, Thierry datang ke rumah Theo. Kebetulan sebelum dia mengetuk pintu rumah, Theo baru saja akan keluar.
“Bonjour.[vii]” sapa Thierry.
“Bonjour, c’est pour quoi?[viii]” balas Theo.
“Maafkan atas kejadian yang kemarin, ya? Sungguh, aku nggak bermaksud untuk…” Thierry tidak melanjutkan ucapannya. Mereka berdua terdiam.
Theo mengambil jaketnya dari balik pintu lalu memakainya. “Kau seharusnya menyusun barang di rumah.” Katanya sambil menutup pintu dan mereka berdua berjalan bersama.
“Aku sudah selesai. Dengar, aku…” suara Thierry memelas.
“Aku harus ke bengkel ayahku sekarang. Waktunya buka, sudah jam setengah delapan.” Potong Theo sambil pergi mendahului Thierry. “Kau pulanglah.” Tambahnya tanpa menoleh sambil terus berjalan. Thierry memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya dan pulang dengan lesu.
Ibu menyiapkan sarapan sambil terus memperhatikan Theo yang murung sejak kemarin. “Bukannya Thierry pindah ke kota besar hari ini, Theo?” tanyanya.
“Oui.” Jawab Theo singkat dan pelan.
“Kau tidak pergi melihatnya?”
“Mungkin kau tidak akan jumpa lagi dengannya.” Ibu mengingatkan.
Ibu menatap Theo lama. “Bagaimanapun, akan terasa sakit di sini.” Kata ibu seraya menunjuk dada Theo. Lama Theo diam. Lalu dia berdiri.
“Aku mau jalan-jalan sebentar.” Katanya lalu segera melesat ke luar. Dia mengayuh sepedanya kencang-kencang di jalan menuju rumah Thierry. Di tengah jalan dia jumpa dengan teman-temannya.
“Theo!” teriak mereka.
“Thierry sudah pergi 5 menit yang lalu.” Ujar Dimitri. “Tadi dia menunggumu.” Tambahnya.
Theo segera mengayuh sepedanya lebih kencang. Dilihatnya di kejauhan mobil Thierry melaju kencang. “Attende-moi[xi]!! Thierry!!” teriaknya. Tapi dia kelelahan, lalu dia berhenti mengayuh dan menatap mobil Thierry dengan tatapan sedih. Nafasnya memburu, bajunya basah oleh keringat dan dadanya sesak. Dia hampir saja menangis tapi dia lalu teringat jalan potong lewat tanah lapang. Cepat Theo mengayuh sepedanya. Sepedanya melaju kencang di antara anak-anak yang bermain bola kaki dan layangan di tanah lapang. Kakinya pegal dan kerongkongannya kering. Tak ada waktu untuk berhenti. Di kejauhan dilihatnya mobil Thierry, semakin kencang dia mengayuh sepedanya.
“Thierry!!” teriaknya. Nafasnya tinggal satu-satu. Mobil tidak juga berhenti. “Thierry….!!!!” Teriaknya lagi. Sia-sia, batin Theo. Dia berhenti, menatap mobil sambil menangis. Tiba-tiba mobil berhenti. Pintunya terbuka dan Thierry berlari keluar dari sana sekencang mungkin ke arah Theo. Setelah mereka saling berhadapan, mereka saling memandang, seolah lupa akan apa yang mau dikatakan. Tapi nafas mereka sama-sama tersenggal-senggal karena kelelahan.
“Ada apa?” Tanya Thierry akhirnya. “Kau naik sepeda sampai sejauh ini? Bajumu basah sekali. Kau nggak sedang olah raga pagi, kan?” tanyanya. Mendengar itu Theo tertawa.
“Kukira udah terlambat.” Katanya lirih sambil menyeka air matanya dengan lengannya.
“Terlambat untuk apa?” Tanya Thierry.
Theo menyodorkan tangannya untuk bersalaman. “Mengucapkan selamat tinggal.” Jawabnya dengan suara tercekat. “Terima kasih untuk bolanya semalam. Tapi itu terlalu mudah.”
Thierry tertawa geli. “Ce n’est rien.[xii] Ok, lain kali kau nggak akan kuberi kemudahan.” Ujarnya. Lalu dia memeluk Theo, dia merasa takut kehilangannya.
“Ayo, Thierry, nanti kita kemalaman sampai di sana.” Panggil ibu Thierry.
“Oui, Maman.[xiii]” sahutnya lalu melepas pelukannya. “À Bien Tôt.” Katanya pada Theo dan berlari ke arah mobil. Lalu mobil tersebut melaju kencang meninggalkan Theo. Theo terdiam, menatap mobil sampai hilang di tikungan. Dia mendesah dengan berat, lalu berbalik. Tak jauh darinya, teman-temannya sudah menunggu. Mereka bersepeda sama-sama menuju tanah lapang.
“Kau mau kubonceng, Theo?” Tanya Simon. “Kau pasti capek, ya.”
“Kau haus, nggak?” Tanya Hans.
Theo menoleh ke belakang sambil tersenyum. “No, I’ll be fine.” À Bien Tôt[xiv], Thierry, bisiknya dalam hati.
FIN.
[i] Bien sûr = tentu saja.
[ii] Non = tidak.
[iii] Oui = ya.
[iv] Allons-nous = ayo.
[v] C’est facile = ini mudah.
[vi] C’est vrai = benar.
[vii] Bonjour = selamat pagi.
[viii] C’est pour quoi? = ada perlu apa?
[ix] Il ne faut pas le peine d’y aller = tidak ada gunanya pergi ke sana.
[x] Cela ne fait rien = tidak apa-apa.
[xi] Attende moi = tunggu aku.
[xii] Ce n‘est rien = tidak masalah.
[xiii] Maman = mama.
[xiv] À Bien Tôt = sampai jumpa lagi.
Subscribe to:
Posts (Atom)